
GAZA (Lentera) -Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk setelah Israel menutup akses bantuan kemanusiaan sejak awal Maret 2025.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) memperingatkan, warga sipil di wilayah tersebut kini menghadapi perjuangan harian yang luar biasa untuk bertahan hidup.
“Warga sipil di Gaza menghadapi perjuangan harian yang luar biasa untuk bertahan hidup dari bahaya permusuhan, mengatasi pengungsian yang tiada henti, dan menanggung konsekuensi dari tidak adanya bantuan kemanusiaan yang mendesak,” ujar Pascal Hundt, Wakil Direktur Operasi ICRC, pekan lalu.
"Situasi ini tidak boleh dan tidak dapat dibiarkan memburuk lebih jauh," tegas dia sebagaimana diberitakan BBC pada Selasa (13/5/2025).
Gencatan senjata runtuh, bantuan terhenti Krisis ini semakin dalam sejak Israel kembali melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza pada 18 Maret 2025, mengakhiri gencatan senjata dua bulan yang sebelumnya disepakati bersama Hamas.
Serangan itu memupus harapan akan fase kedua dari kesepakatan damai, yang salah satunya mencakup pembebasan sandera dengan imbalan penarikan penuh pasukan Israel dari wilayah Gaza.
Namun, tekanan dari kelompok ultra-nasionalis yang mendukung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mendorong kembalinya eskalasi konflik. Mereka menentang perjanjian damai dan mengancam akan menjatuhkan pemerintahan Netanyahu jika tidak kembali menyerang Gaza.
Nasib politik Netanyahu pun berada di ujung tanduk, terutama terkait kemungkinan penyelesaian kasus korupsinya.
Warga sipil terjepit di tengah serangan
Serangan terbaru Israel disebut mencakup rencana pengungsian massal warga Palestina di tengah serangan udara dan artileri. Ratusan ribu orang telah dipaksa mengungsi berulang kali sejak perang dimulai Oktober 2023.
Gaza, yang bahkan sebelum perang telah menjadi salah satu wilayah terpadat di dunia, kini menyusut menjadi zona pengungsian kecil di sekitar reruntuhan kota Rafah.
Sebelum rencana tersebut dijalankan, PBB mencatat sekitar 70 persen wilayah Gaza sudah tak dapat diakses warga sipil. Israel disebut ingin menekan warga Gaza agar terkonsentrasi di wilayah yang lebih sempit lagi.
Tuduhan blokade makanan
Kelaparan kini mengancam seluruh populasi Gaza. Laporan terbaru dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC), lembaga gabungan badan PBB, LSM, dan pemerintah, menunjukkan, lebih dari dua juta penduduk Gaza hampir setengahnya anak-anak mengalami kerawanan pangan akut.
IPC menyebutkan, sekitar 470.000 orang (22 persen populasi) berada dalam “Fase 5 atau bencana”, yaitu situasi ketika setidaknya satu dari lima rumah tangga mengalami kekurangan pangan ekstrem hingga menyebabkan malnutrisi akut dan kematian.
"Kelaparan menyebar, orang-orang kelelahan, orang-orang kelaparan," kata Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, dalam wawancara dari London.
"Kita dapat memperkirakan bahwa dalam beberapa minggu mendatang, jika tidak ada bantuan yang datang, orang-orang tidak akan mati karena pemboman, tetapi mereka akan mati karena kekurangan makanan. Ini adalah persenjataan bantuan kemanusiaan," imbuhnya, mengutip Kompas.
Israel menolak tuduhan bahwa mereka menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai senjata perang. Namun, sejak awal Maret, Israel menutup semua akses masuk bantuan makanan dan medis ke Gaza.
Selain itu, Israel juga melarang jurnalis internasional masuk ke wilayah tersebut, menyulitkan upaya pelaporan langsung dari lapangan.
Di sisi lain, PBB dan berbagai lembaga kemanusiaan menolak klaim Israel bahwa Hamas menyita bantuan makanan.
Mereka juga menolak rencana Israel dan AS yang hendak mendistribusikan bantuan melalui perusahaan keamanan swasta yang dikawal pasukan Israel (*)
Editor: Arifin BH