14 May 2025

Get In Touch

Intip Cara Kerja Alat Diagnosis Malaria AI dari BRIN

Ilustrasi malaria (Shutterstock)
Ilustrasi malaria (Shutterstock)

JAKARTA (Lentera) - Sistem diagnosis malaria otomatis berbasis kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dirancang untuk mendeteksi parasit melalui citra mikroskopis dari apusan darah. Menurut Anto Satriyo Nugroho, peneliti dari Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PR-KAKS) BRIN, teknologi ini ditujukan untuk mempercepat proses diagnosis sekaligus meningkatkan tingkat akurasi, khususnya di daerah-daerah endemis.

“Tujuan utama kami adalah menciptakan sistem Computer Aided Diagnosis yang dapat mengenali status malaria secara otomatis dari citra apusan darah,” kata Anto dalam diskusi di Jakarta pada Rabu, 7 Mei 2025.

Menurut Anto, diagnosis malaria selama masih manual lewat mikroskop. Lantaran hanya bergantung pada keahlian petugas, prosesnya rentan keliru akibat kelelahan atau keterbatasan tenaga ahli.

Dalam penelitian ini, datanya diperoleh dari berbagai daerah endemik di Indonesia, seperti Kalimantan, Papua, dan Sumba. Tim PR-KAKS bekerja bersama Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN. Peneliti mendalami data 1.388 mikrofoto, mencakup berbagai jenis Plasmodium, termasuk P. falciparum, P. vivax, P. malariae, P. ovale, satu kasus infeksi campuran, dan sebuah sampel negatif.

“Berdasarkan analisis terhadap 35 mikrograf dari kasus nyata di daerah endemis Indonesia, mencakup 3.362 sel, sistem ini menunjukkan kemampuan signifikan dalam mengidentifikasi parasit malaria,” ujar Anto.

Hasil pengujian awal menunjukkan sensitivitas sistem sebesar 84,37 persen dalam membedakan sel sehat dan terinfeksi, akurasi (F1-score) 80,60 persen, serta nilai positive predictive value (PPV) sebesar 77,14 persen.

Sistem buatan BRIN itu juga dirancang untuk mempercepat survei darah massal dan memungkinkan diagnosis jarak jauh di daerah terpencil. Dalam kondisi endemis, Anto meneruskan, satu apusan darah bisa memerlukan pengamatan terhadap 500-1.000 eritrosit, atau 200 leukosit. “AI dapat mempercepat proses ini tanpa mengorbankan akurasi,” tuturnya.

Anto menekankan pentingnya kolaborasi multidisiplin dalam pengembangan teknologi AI di bidang biomedis. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan komputasi,” katanya. “Pemahaman atas konteks medis adalah kunci agar hasil diagnosis benar-benar bermanfaat bagi pasien."

Ancaman Besar Malaria

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN Puji Budi Setia Asih mengatakan malaria masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Salah satu kendala untuk mengatasi penyakit ini adalah keterbatasan fasilitas diagnosis cepat dan akurat di tingkat layanan primer.

“Pendekatan mikroskopis berbasis AI akan membantu meningkatkan sensitivitas dan akurasi diagnostik, yang merupakan prasyarat untuk eliminasi malaria,” kata Puji dalam keterangan tertulis.

Dia mengimbuhkan, diagnosis yang akurat merupakan tahap krusial dalam menentukan pengobatan dan penanganan lanjutan. Kecerdasan pintar diyakini dapat membantu menurunkan kasus malaria melalui deteksi dini dan pengobatan tepat waktu, terutama di daerah terpencil.

Tantangan lain soal belum adanya standarisasi pewarnaan gambar apusan darah. “BRIN berkomitmen untuk terus menyempurnakan sistem ini melalui riset kolaboratif dan uji coba lapangan,” kata Anto. 

Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.