
SURABAYA (Lentera) -Pada Kamis (1/5/2025), sekitar 300 orang berkumpul di puing-puing sebuah desa yang telah ditinggalkan penduduk Palestina. Di sana, mereka memperingati peristiwa Nakba atau "malapetaka".
Tempat berkumpulnya massa tersebut adalah Desa Al-Lajjun, sebuah desa Arab Palestina yang dulunya besar dan terletak 16 kilometer barat laut Jenin.
Nakba adalah pengusiran sekitar 750.000 warga Palestina dari rumahnya selama pembentukan negara Israel pada 1948. Dan desa itu menjadi salah satu saksi bisu perginya orang-orang secara terpaksa dari rumahnya.
Saat Israel merayakan Hari Kemerdekaan pada Kamis, massa yang terdiri atas pria, wanita, dan anak-anak berjalan melalui puing-puing desa sambil berteriak, "Kemerdekaanmu adalah Nakba bagi kami".
Desa Al-Lajjun dulunya merupakan rumah bagi ribuan warga Palestina. Kini, sebagian tanah di sana diambil alih oleh kibbutz Megiddo, sebuah komunitas pertanian Israel.
Peringatan Nakba tahun ini diadakan dengan latar belakang perang di Gaza, di mana lebih dari 18 bulan serangan Israel telah membuat 2,4 juta jiwa atau hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi.
Mengenakan jilbab dan pakaian adat keffiyeh, para peserta menyanyikan lagu kebangsaan Palestina dan berbagi kenangan tentang kehilangan dan ketangguhan.
Di antara mereka adalah Ziyad Mahajneh (82) yang melarikan diri dari desa tersebut saat masih anak-anak pada 1948.
"Mereka menyerang desa kami dengan meriam dan senapan mesin," kenang Mahajneh, sebagaimana dilansir AFP.
Ia mengatakan, ketika keluarganya melarikan diri, ia tertinggal. Seorang tetangganya lalu membantunya bersatu kembali dengan keluarganya di Kota Umm al-Fahm, yang sekarang juga merupakan bagian dari Israel.
"Hari ini, kami juga dilarang berada di sini. Mereka (orang Israel) bertanya kepada kami, 'apa yang kalian lakukan di sini'," kata Mahajneh kepada AFP.
Kenangan tentang pengungsian bergema di antara mereka yang berkumpul.
Keturunan dari sekitar 160.000 warga Palestina yang berhasil bertahan di tempat yang sekarang menjadi Israel saat ini berjumlah sekitar 20 persen dari populasinya.
Setiap 15 Mei Banyak orang keturunan Arab di Palestina saat ini tetap terhubung erat dengan tanah bersejarah mereka.
Selama lebih dari dua dekade, peringatan Nakba selalu dilakukan tiap tahun secara simbolis dengan "pulang" ke desa-desa Palestina yang telah dikosongkan.
Namun tahun ini, penyelenggara mengatakan ada pembatasan ketat yang diberlakukan oleh otoritas Israel, termasuk pembatasan jumlah peserta dan larangan pengibaran bendera Palestina.
Pembatasan tersebut menyebabkan mereka membatalkan pawai utama dan mengadakan aksi yang lebih kecil sebagai gantinya.
"Mereka ingin kami berhenti melakukan tindakan yang paling sederhana: mengenang Nakba," kata Faisal Mahajneh, warga Al-Lajjun lain yang mengungsi.
"Kami adalah penduduk negeri ini, dan kami tidak akan kehilangan harapan untuk kembali," kata Ziyad, dikutip ari Kompas.
Peringatan Nakba 2025 tetap dibayangi genosida dan pengusiran massal bangsa Palestina di Gaza. Israel tidak menghiraukan itu dan malah menyiapkan serangan besar.
Sebagian bekas pemukiman itu dijdikan hutan dengan pohon dari Eropa atau Australia. Sebagian lagi dijadikan pemukiman yang diisi imigran Yahudi dari sejumlah benua (*)
Editor: Arifin BH