
SURABAYA (Lentera) – Anggota DPRD Jawa Timur, Dewanti Rumpoko kembali menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam pembangunan hunian di kawasan rawan bencana, khususnya di lereng pegunungan wilayah Malang Raya.
Menurut Dewanti, pembangunan perumahan dan villa yang terus menjamur di wilayah Malang, Batu, hingga sekitarnya harus dikendalikan dan tidak boleh mengabaikan aspek keselamatan lingkungan dan kesesuaian tata ruang. Ia menekankan pentingnya perencanaan berbasis Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang ketat dan profesional.
“Jangan sampai kita mengorbankan ekosistem hanya demi keuntungan sesaat. Lereng-lereng di Batu dan Malang memiliki fungsi ekologis penting. Jika dibangun secara sembarangan, risikonya bisa fatal: banjir, longsor, hingga krisis air,” ungkap Dewanti Rumpoko, Kamis (15/7/2025).
Sebagai mantan Wali Kota Batu, Dewanti memahami betul karakteristik geografis kawasan tersebut. Ia menyebut bahwa banyak wilayah yang secara fungsi ruang telah ditetapkan dalam zonasi RTRW dan seharusnya tidak bisa diubah sembarangan, kecuali melalui proses perubahan tata ruang yang sah dan melalui kajian dampak lingkungan mendalam.
“Semua wilayah sudah punya peta zonasi. Kalau di Batu, itu sudah tertuang di RTRW dan wajib dipatuhi. Tidak bisa tiba-tiba tanah hijau jadi kuning hanya karena permintaan pasar. Pemerintah daerah dan masyarakat harus sama-sama disiplin,” tegasnya.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim tersebut juga mengingatkan masyarakat untuk cermat sebelum membeli tanah atau properti di kawasan lereng. Edukasi soal peruntukan lahan menjadi penting agar warga tidak menjadi korban investasi bermasalah di masa depan.
“Saya minta masyarakat jangan tergiur penawaran villa murah tapi tidak tahu status zonasinya. Apakah itu zona permukiman, resapan, atau bahkan zona lindung? Jangan sampai mereka membeli rumah yang ternyata melanggar aturan,” imbuhnya.
Di sisi lain, Dewanti turut merespons data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Kota Malang yang mencatat adanya penurunan izin pengembangan perumahan di awal 2025. Ia menilai tren ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola ruang secara menyeluruh.
“Kalau memang ada penurunan pembangunan, gunakan momen ini untuk konsolidasi zonasi dan RTH (Ruang Terbuka Hijau). Pemerintah kota dan kabupaten harus lebih tegas soal arah pembangunan ke depan. Hunian vertikal pun harus dipastikan aman dan tidak menambah beban lingkungan,” tandasnya.
Kepala Disnaker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan sebelumnya menyebutkan bahwa tren pembangunan hunian bergeser ke vertikal seperti apartemen, seiring dengan keterbatasan lahan dan melonjaknya harga tanah. Namun, ia menegaskan bahwa pembangunan semacam itu tetap wajib melalui kajian dampak sosial dan lingkungan.
Merespons hal tersebut, Dewanti mendesak agar seluruh rencana pembangunan, baik horizontal maupun vertikal, tidak hanya dilihat dari sisi bisnis semata, melainkan harus memperhitungkan keberlanjutan ekologis dan sosial masyarakat setempat.
“Malang Raya adalah kawasan yang unik, berhawa sejuk, punya daya tarik tinggi. Tapi kalau tidak kita jaga bersama, justru daya tarik itulah yang akan hancur oleh keserakahan pembangunan tanpa kendali,” pungkas Dewanti.
Reporter: Pradhita/Editor: Ais