17 May 2025

Get In Touch

Marak Alamat KTP di Rumah Ibadah, DPRD Surabaya: Upaya Manipulasi Data

Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya Yona Bagus Widiyatmoko.
Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya Yona Bagus Widiyatmoko.

SURABAYA (Lentera)– Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, mengungkapkan kekhawatirannya atas maraknya pengajuan KTP dengan mencantumkan alamat rumah ibadah sebagai domisili di Kota Surabaya.

Menurutnya, praktik ini melanggar aturan administrasi kependudukan dan dapat disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

“Banyak pendatang yang menggunakan alamat gereja atau masjid untuk mengurus KTP. Bahkan, ada intervensi dari pihak eksternal agar pengajuan seperti ini diproses. Ini tidak bisa dibenarkan, kecuali untuk orang dengan fungsi khusus seperti pendeta atau marbot,” kata Yona, Kamis (15/5/2025).

Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya itu menilai fenomena ini telah melewati batas kewajaran dan patut dicurigai sebagai upaya memanipulasi data kependudukan demi kepentingan pendidikan, pekerjaan, atau layanan publik lainnya.

“Jika jumlahnya banyak, ini sudah tidak masuk akal. Apalagi kalau tujuannya mengelabui sistem administrasi,” tuturnya.

Yona menegaskan tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan rumah ibadah dijadikan alamat domisili KTP secara umum. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, menurutnya, hanya mengatur pendirian rumah ibadah dan pembentukan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).

“Saya pelajari PBM tersebut, tidak ada satu pun pasal yang membolehkan rumah ibadah digunakan sebagai domisili administrasi,” tegasnya.

Ia menduga mayoritas pemohon dengan alamat rumah ibadah adalah pendatang dari luar Surabaya yang tidak memiliki alamat tetap. “Ada yang dari wilayah Indonesia timur atau tapal kuda. Karena tidak punya tempat tinggal resmi, mereka gunakan alamat gereja atau masjid,” tuturnya.

Meski begitu, Yona mengakui tidak semua kasus dapat digeneralisasi. Jika memang tinggal dan menjalankan fungsi di rumah ibadah, seperti pendeta, takmir, atau marbot, maka penggunaan alamat tersebut bisa dibenarkan secara administratif.

Untuk itu, Yona meminta Dispendukcapil Surabaya bersikap tegas dan tidak terpengaruh tekanan pihak luar. Ia juga mendorong penyusunan regulasi yang lebih jelas untuk mencegah penyalahgunaan alamat domisili.

Ini bukan soal SARA, tapi soal etika dan ketertiban administrasi. Jangan sampai rumah ibadah dijadikan alat manipulasi data,” tutupnya.

Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.