16 May 2025

Get In Touch

Kala Tokoh Fiksi Membuat Menangis Penggemarnya

Kala Tokoh Fiksi Membuat Menangis Penggemarnya

Tahukah Anda, ada tokoh fiksi yang dapat membuat penggemarnya menangis? yang kemudian, sedemikian rupa mengancam kelangsungan hidup kreator dan produsennya.

Fenomena ini yang kemudian oleh praktisi branding disebut sebagai Emotional brand attachment (keterikatan merek emosional), yang kemudian dideskripsikan sebagai hubungan emosional yang kuat antara konsumen dan merek tertentu. 

Sebagai pebisnis, alangkah menyenangkannya bila produk kita bisa menghadirkan nuansa Emotional brand attachment di benak konsumennya. 

Untuk itu, kita perlu menciptakan identitas merek yang sangat terkait dengan emosi dan nilai audiens, serta menceritakan kisah menarik yang selaras dengan pengalaman mereka. Hal ini tentu akan melibatkan pemahaman audiens Anda, pengembangan kepribadian merek, dan pembuatan narasi yang membangkitkan hubungan emosional mereka. 

... 

ohya, ngomomg-ngomomg tentang tokoh yang saya sebutkan diatas, adalah Sherlock Holmes, seorang tokoh detektif jenius dari Inggris karangan dari Sir Arthur Conan Doyle. Diceritakan Sherlock Holmes bisa memecahkan kasus tersulit hanya dengan logika tajam dan pengamatan luar biasa. 

Jadi begini kisahnya, pada tahun 1893, sang kreator Sherlock Holmes, Sir Arthur Conan Doyle, justru membuat keputusan mengejutkan: membunuh karakter utama ciptaannya sendiri! 

Cerita yang mengejutkan ini dimuat dalam kisah berjudul "The Final Problem" yang diterbitkan di majalah The Strand. Dalam cerita tersebut, Holmes terlibat perkelahian sengit dengan musuh bebuyutannya, Profesor Moriarty, di air terjun Reichenbach di Swiss. Keduanya jatuh ke jurang dan dinyatakan tewas. Ya, Sherlock Holmes mati!

Ternyata, keputusan Doyle tidak disambut baik oleh para penggemar Sherlock Holmes. Sebanyak 20.000 pembaca langsung membatalkan langganan majalah The Strand, sebagai bentuk protes atas “pembunuhan” sang detektif kesayangan mereka. Penjualan majalah langsung anjlok, dan hampir membuatnya bangkrut.

Kala itu, para staf redaksi bahkan menyebut momen itu sebagai “the dreadful event” ---peristiwa mengerikan. Mereka tidak menyangka kematian karakter fiksi bisa membuat kekacauan sebesar itu. 

... 

Kembali ke Emotional Branding. Hal ini sangat berperan sebagai penentu kesuksesan sebuah brand dalam kompetisi pasar. Identitas sebuah brand dapat dibentuk dengan menghubungkan brand dan konsumen secara personal. 

Membangun emosi ini biasanya mengacu pada rasa percaya konsumen terhadap brand. Dengan kata lain, rasa percaya konsumen terbangun karena adanya keterlibatan emosi mereka dengan sebuah brand. 

Mereka membeli produk atau mengikuti kisah dari brand tertentu bukan semata-mata karena kebutuhan, tetapi transaksi yang dilakukan berdasarkan keinginan atau hasrat mereka. Intinya, strategi branding yang terintegrasi menjadi bagian penting dari emotional branding. 

Shelock Holmes sudah sampai pada titik Emotional branding. Hubungan antara konsumen dan brand 'Shelock Holmes' telah terbentuk atau dibangun dengan menggunakan metode yang menggunakan faktor emosional.

Kala itu, penggemar Holmes benar-benar kelas menengah yang sedang berkembang, jenis kelompok yang seleranya akan direndahkan oleh kritikus sombong sebagai populis selama lebih dari satu abad mendatang. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu membeli tiket konser, orang-orang yang harus menunggu versi novel populer yang lebih murah. 

Sejarawan David Payne menggambarkan mereka sebagai "sebagian besar kelas menengah ke bawah dan menengah-menengah di kota-kota, orang-orang yang tidak intelektual, tidak bersekolah di sekolah umum, pekerja keras, sedang naik daun... - orang-orang modern massa sejati yang pertama." 

Dan, Majalah The Strand tahu persis tentang hal ini, makanya kemudian mereka menargetkan segmen ini, dengan menghadirkan kisah-kisah yang segmen ini sukai

... 

Tujuan utama emotional branding adalah membangun brand yang kuat dimata audiens, dengan menciptakan branding yang mengacu pada pengalaman dan keinginan emosional konsumen secara mendalam. 

Selain membangun hubungan dengan pelanggan, juga untuk memberikan nilai pada brand atau produk dalam jangka waktu panjang. Hal ini dilakukan dengan memberikan pengalaman multi-sensory dan dibuat agar customer merasakan keunggulan produk dan bersedia membeli.

Membangun emosi pada pelanggan dan brand bukan sekadar proses atau riset yang dilakukan secara teknis, namun mengacu pada hubungan antar manusia. Hal ini dikarenakan dalam sektor perdagangan, manusia atau pembeli adalah bagian yang paling fundamental. 

Tentu ini adalah program jangka panjang yang harus dipertimbangkan dan dipersiapkan. Bagaimana sebuah Brand dapat berkembang dengan melalui proses life cycle yang dialami dalam pasar. Posisi brand harus stabil atau selalu berada dalam kondisi keseimbangan agar dapat terus memperbarui brand ini secara berkelanjutan.

Lantas, Bagaimana proses keterikatan emosional terbentuk? Dimulai dengan Pengalaman positif! 

Itulah yang perlu kita pahami tentang emotional branding, karena dengan memahami strategi ini kita bisa mengoptimalkan usaha dalam menarik minat konsumen agar mereka melakukan transaksi pembelian. 

Tidak hanya semata membeli, namun juga membeli kembali, dan membeli kembali, dan membeli kembali, dan membeli kembali, sehingga tercipta koneksi emosi yang kuat . Karena ketika konsumen memiliki pengalaman yang baik dengan merek, mereka cenderung membentuk keterikatan emosional yang lebih kuat. 

Jika brand kita memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai konsumen, maka keterikatan emosional akan lebih kuat

... 

Ngomong-ngomong, bagaimana selanjutnya kisah Shelock Holmes? 
Pada tahun 1901, Doyle menerbitkan kembali cerita Holmes lewat novel "The Hound of the Baskervilles", yang berlatar sebelum kematian Holmes.

Namun baru pada tahun 1903, dalam cerita “The Adventure of the Empty House”, Holmes benar-benar dihidupkan kembali. Dalam cerita itu dijelaskan bahwa Holmes sebenarnya tidak mati, tapi hanya pura-pura tewas untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Pembaca pun bersorak!

Kisah ini jadi bukti nyata betapa kuatnya hubungan emosional antara pembaca dan karakter fiksi. Bahkan seorang tokoh imajinasi bisa “membangkitkan kemarahan” massal dan mengguncang dunia penerbitan. Sherlock Holmes hingga kini tetap hidup di hati banyak orang, bahkan terus diadaptasi ke film, serial, dan buku modern. Namun peristiwa di tahun 1893 itu akan selalu dikenang sebagai momen ketika satu tokoh fiksi hampir menghancurkan sebuah industri. 

... 

Ahh.. Andai brand kita setangguh Sherlock Holmes, yang disayangi dan ditangisi penggemarnya. 
Sembari menikmati weekend, tidak ada salahnya kita melihat bagaimana bisnis proses di usaha kita, mungkin ada inovasi baru yang bisa diluncurkan

Semangat membangun brand
Enjoy your weekend! 


(* Penulis: Suhardiman Eko, Business Development LENTERA MEDIA Group

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.