
OPINI (Lentera) -Pemerintah RI ingin memiliki metode baru penyelengaraan haji. Tetapi pelaksanaannya masih dengan paradigma lama. Perubahan dari Syarikah Tunggal, menjadi delapan, menyebabkan kegaduhan.
Banyak keluhan kinerja layanan Syarikah, sehingga Pemerintah perlu segera meng-evaluasi. Juga keterpisahan jamaah disabilitas dengan pendamping, sangat merepotkan. Pola pemisahan rombongan, bahkan pisah pasangan suami dengan istri, merupakan pengalaman paling tidak nyaman.
Seharusnya, pemerintah Indonesia men-sosialisasi syarikah. Sekaligus menata syarikah dengan kelompok terbang (kloter). Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) one syarikah one kloter. Lebih baik manakala di-koordinasikan dengan KBIHU dalam setiap kloter. Tetapi realitanya, sejak visa diterbitkan, telah tertulis nama Syarikah yang akan melayani. Banyak JCH yang tercecer, tertukar kloter. Bisa jadi, karena Permen one syarikah one kloter, terlambat terbit (baru April 2025).
Kegaduhan oleh kinerja syarikah, tidak bisa dianggap sepele. Ke-tidak nyaman-an, terutama yang berkait pemisahan keluarga, bisa mempengaruhi ke-khusyu’-an ibadah haji. Bisa berujung berkurangnya ke-mabrur-an. Terjadi perubahan metode penyelenggaraan layanan haji di Arab Saudi.
Semula selama berpuluh tahun, berbasis wilayah (diselenggarakan oleh muassasah), kini sejak tahun 2022 menjadi berbasis perusahaan rekanan (syarikah). Tujuannya agar lebih baik, profesional.
Pada awalnya, pelayanan haji di Arab Saudi, dilayani oleh satu syarikah. Tetapi mulai tahun 2025, dilibatkan sebanyak delapan syarikah. Serta merta, harus diakui, terjadi ke-gaduh-an.
Segenap KBIHU (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan umroh) juga bingung. Begitu pula kelompok terbang (Kloter). Karena metode syarikah, tidak berbasis kloter), juga tidak berbasis KBIHU. Sehingga banyak terjadi perpisahan jamaah keluarga. Yang semula satu KBIHU, dan satu kloter, menjadi terpecah.
Tujuan layanan oleh syarikah, adalah profesionalisme, dan peningkatan kualitas layanan, dan efisiensi. Pemerintah RI menggandeng delapan syarikah dalam pelaksanaan haji 2025. Sehingga sangat berpotensi dalam satu KBIHU dan satu kloter, terpisah berbeda syarikah. Setiap syarikah memiliki tanggungjawab pelayanan akomodasi (makanan, penginapan, dan transportasi). Realitanya, banyak jamaah haji terpisah dari rombongan.
Keberangkatan setiap Jamaah Calon Haji (JCH) selalu berbasis, dan dikoordinasi berdasar KBIHU, dan Kloter. Sehingga seharusnya struktur kinerja syarikah, juga berdasar KBIHU atau Kloter.
Maka ke-gaduh-an penyelenggaraan haji sistem syarikah di Arab Saudi, sejak tahun 2023, tahun 2024, menjadi evaluasi Kementerian Agama. Ke-terpisaha-an JCH dengan rombongan (berdasar KBIHU dan Kloter) menjadi keniscayaan.
Pada penyelenggaraan haji tahun 2025, viral video tentang pengiriman catering yang terlambat. Juga layanan selama di Arofah, harus berjubel pada tenda yang sempit. Banyak barang harus ditempatkan di luar tenda. Serta toilet yang kecil, dan air (beserta sanitasi) sering mampat. Kinerja pelayanan haji tahun 2024, juga nyaris sama. Tidak meningkat. Termasuk tenda dengan bahan konstruksi bukan baru (sudah lumutan, dan karatan).
Seluruh ke-tidak nyaman-an yang dialami jamaah haji, lazim dianggap sebagai “takdir.” Bahkan di-paradigma bagai potret (balasan) perilaku jamaah haji selama ini. Keterlambatan ransum makan, dan keterlambatan jemputan bus ke Armuzna (Arofah – Muzdalifah – Mina) juga dianggap “takdir.” Begitu pula layanan standar “minimalis” selama di Armuzna (Arofah, Muzdhalifah, dan Mina), juga “takdir.” Padahal jamaah haji Indonesia telah membayar mahal ongkos haji, layak memperoleh layanan standar VIP.
Rata-rata Bipih nasional, sebelum subsidi sebesar Rp 89,41 juta per-jamaah. Tetapi layanan yang diterima tidak sesuai standar VIP. Suasana penginapan berupa tenda (berukuran 15x15 meter persegi) berisi 370-an orang.
Ditambah keparahan sanitasi. Satu pintu toilet, setiap saat diantre 8 orang. Tempat pembuangan sampah berdekatan dengan tenda, menambah ke-tidak nyaman-an. Sering pula dikeluhkan AC mati. Juga keran air toilet mampat.
Kini segenap PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) harus kerja ekstra me-mitigasi setiap orang dalam kelompok JCH. Begitu pula koordinasi dengan petugas Kloter (terdiri dari petugas Kesehatan, dan petugas Bimbingan Ibadah).
Terutama layanan selama di Madinah sampai saat menuju Makkah. Khususnya jamaah usia lanjut. Karena bisa jadi berpisah Kloter, karena berbeda syarikah. “One syarikah one Kloter” belum tersosialisasi dengan baik (*)
Penulis: Yunus Supanto, Wartawan Senior dan Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Surabaya|Editor: Arifin BH