01 June 2025

Get In Touch

Aktivis IMM Sidoarjo Gelar Refleksi 19 Tahun Semburan Lumpur Lapindo 

Aktivis IMM Sidoarjo menggelar refleksi 19 tahun semburan lumpur lapindo. (foto:ist/PWMU)
Aktivis IMM Sidoarjo menggelar refleksi 19 tahun semburan lumpur lapindo. (foto:ist/PWMU)

SIDOARJO (Lentera) - Sudah 19 tahun berlalu, sejak semburan lumpur panas menenggelamkan ribuan rumah dan harapan warga Porong, Sidoarjo dan hingga kini luka itu belum juga kering.

Dalam momentum peringatan semburan lumpur lapindo, 29 Mei 2025 suara kritis kembali menggema, menampar kepongahan kekuasaan yang gagal belajar dari bencana. Puluhan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sidoarjo dan sejumlah elemen masyarakat sipil, berkumpul di tanggul lumpur Porong mengutip laman pwmu, Jumat (30/5/2025).

 

Mereka menggelar refleksi bertajuk “19 Tahun Lumpur Lapindo: Luka yang Belum Kering” sambil memasang dua spanduk, yang menyindir tajam kebijakan dan kelambanan negara.

 

Salah satu spanduk berbunyi, “Luka itu nyata. Menolak lupa. Terus bersuara” Sedang satu lainnya menampilkan grafis rumah-rumah tenggelam dan patung lumpur, mengingatkan kita pada tragedi kemanusiaan yang pelakunya masih bebas berkeliaran.

 

Ketua Umum IMM Cabang Sidoarjo, Bagus Yoga Aditya membuka kegiatan ini dengan penegasan moral jika sampai hari ini masih membuktikan humanitas sebagai mahasiswa, khususnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang tetap bersuara tentang 19 tahun Lumpur Lapindo.

 

Ia mengatakan, refleksi ini bukan sekadar mengenang, melainkan bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang terus dilanggengkan. 

 

“Negara absen, dan kita hadir menggugat,” tegasnya.

 

Sementara itu, orasi Immawan Nizar mengguncang kesadaran peserta yang hadir. Dengan nada penuh kemarahan, ia berkata, tegakkan kepala kalian! Busungkan dada kalian! Jangan tertawa! Lihatlah apa yang telah terjadi 19 tahun lalu hingga kini. Kalian masih bisa tertawa di atas penderitaan ini?

 

Kemarahan itu bukan tanpa alasan. Ribuan jiwa kehilangan rumah, tanah, dan sejarah hidupnya namun hingga kini, penguasa daerah dan pusat seolah lebih sibuk mengemas citra ketimbang menyelesaikan luka.

 

Sorakan dan tepuk tangan pecah, ketika Gubernur Mahasiswa FHBIS, Atok, mengambil alih pengeras suara untuk menyampaikan kritik yang sangat tajam dan menyindir langsung para penguasa.

 

“Kami ingatkan kepada Bupati Sidoarjo: jangan cuma bisa korupsi! Kami ingatkan kepada Gubernur Jawa Timur: jangan cuma jualan buah! Dan kami ingatkan kepada Presiden Prabowo Subianto: jangan cuma omon-omon saja!” tuturnya.

 

Sindiran itu langsung menyulut semangat peserta aksi, teriakan “Hidup mahasiswa!” menggema membelah langit Sidoarjo yang mendung. Ini bukan hanya bentuk ekspresi, tapi jeritan rakyat yang kecewa pada negara yang diam saat warganya tenggelam dalam lumpur.

 

Tak hanya menggugat elit politik, Kepala Bidang Organisasi IMM Sidoarjo, Immawan Fajar menyatakan dimensi spiritual dari tragedi ini, dengan mengutip ayat al Quran yang menyindir keserakahan manusia.

 

“Ketamakan penguasa adalah bencana. Seperti Fir’aun, mereka tidak pernah merasa cukup. Selalu menggali lebih dalam—hingga bumi sendiri memuntahkan kemarahannya.”

 

Kemarahan mahasiswa bukan hanya pada sejarah yang dilupakan, tapi juga pada fakta bahwa masih terjadi praktik pengeboran di wilayah-wilayah sekitar lokasi semburan. Dalam orasi, disebutkan adanya indikasi “penggalian lubang baru” oleh pihak-pihak berkepentingan, yang diselimuti proyek investasi energi.

 

“Jangan sampai kita biarkan luka lama dibuka kembali oleh keserakahan baru,” ujar salah satu orator.

 

Namun, hingga kini, pemerintah Kabupaten Sidoarjo tetap bungkam soal rencana jangka panjang pemulihan ekosistem dan kehidupan warga terdampak. Sementara PT Lapindo Brantas, sebagai entitas yang dulu disebut-sebut bertanggung jawab, telah menjelma menjadi bayang-bayang perusahaan yang lolos dari jerat keadilan.

 

Refleksi ini tidak berhenti pada seremoni simbolik, IMM Sidoarjo bersama elemen masyarakat sipil merencanakan forum lanjutan untuk mendorong audit lingkungan dan membuka kembali kasus-kasus hukum yang pernah menggantung.

 

“Kita tidak butuh nostalgia, kita butuh keadilan,” tegas Bagus Yoga menutup acara.

 

Hari itu, di antara lumpur yang mengering dan patung-patung manusia lumpur yang bisu, suara mahasiswa menggema lebih nyaring dari mesin-mesin kekuasaan. Sembilan belas tahun berlalu, tapi semburan itu belum berhenti—ia kini berupa suara rakyat yang menuntut agar sejarah tidak dihapus dan luka tidak dilupakan.

 

Editor: Arief Sukaputra

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.