
SURABAYA (Lentera) -Paris Saint-Germain (PSG) mencetak sejarah dengan meraih gelar Liga Champions pertama mereka. Ironisnya, momen itu justru terjadi ketika mereka tak lagi diperkuat sang megabintang, Kylian Mbappé.
Pada laga final Liga Champions 2024-2025 PSG vs Inter Milan di Allianz Arena, Munich, Sabtu (31/5/2025) malam waktu setempat atau Minggu dini hari WIB, PSG tampil luar biasa dan menggulung Inter Milan 5-0.
Ini menjadi kemenangan dengan selisih skor terbesar sepanjang sejarah final kompetisi antarklub Eropa tersebut.
Gol-gol PSG dicetak oleh Achraf Hakimi, Désiré Doué (2 gol), Khvicha Kvaratskhelia, dan Senny Mayulu. Inter Milan tak mampu memberikan perlawanan berarti dan menjadi tim pertama yang kebobolan lima gol dalam satu partai final Liga Champions.
Hasil tersebut bukan hanya soal kemenangan dan gelar Liga Champions perdana PSG, tapi tentang transformasi besar yang dilakukan kubu Parc des Princes tersebut di bawah arahan Luis Enrique.
Tanpa sosok-sosok bintang seperti Lionel Messi, Neymar, dan terutama Mbappé, PSG justru menjelma menjadi tim yang lebih kompak, solid, dan berorientasi pada permainan kolektif.
Luis Enrique dan Pemuda-pemuda Laparnya
Musim panas lalu, pernyataan Luis Enrique sempat dianggap berani ketika ia menyebut, "PSG akan lebih kuat tanpa Mbappé."
"Saya sangat berani musim lalu ketika saya memberi tahu Anda bahwa kami akan memiliki tim yang lebih baik dalam hal menyerang dan bertahan," kata Enrique pada awal tahun ini.
"Saya masih berpikir kami lebih baik dalam hal menyerang dan bertahan, angka-angka menunjukkan hal itu. Para pemain menganggapnya sebagai tantangan."
"Tentu saja kami ingin mempertahankan Kylian, karena semua orang mencintainya, tetapi tim merespons dengan sangat positif, pada level yang spektakuler," lanjutnya.
"Saya katakan kepada Anda bahwa daripada memiliki pemain yang mencetak 40 gol, saya menginginkan pemain yang semuanya mencetak banyak gol. Itulah tujuan kami, untuk terus berkembang." mengutip Kompas.
Kini, pernyataan itu terbukti bukan sekadar omong kosong.
Pelatih asal Spanyol itu berhasil membangun ulang fondasi tim Paris, mengedepankan identitas permainan jelas, kerja sama tim, dan perkembangan pemain muda.
Di bawah komandonya, muncul generasi baru seperti Désiré Doué dan Senny Mayulu yang tampil brilian di malam final.
Bahkan, PSG menyabet gelar juara Liga Champions ini dengan empat pemain berbeda mencetak gol di final.
Dengan pendekatan kolektif dan mentalitas kompetitif, Enrique membawa PSG jauh melampaui era “galactico” penuh nama besar tetapi minim hasil.
Ketika kubu Paris ini menikmati kesuksesan, Mbappe dan Real Madrid sudah tersingkir di perempat final dari Arsenal.
Ketika Kolektivitas Menang atas Individualitas
Mbappé memang menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah PSG. Namun, dalam hal membawa trofi Liga Champions ke Paris, misi tersebut justru diselesaikan oleh tim tanpa dirinya.
PSG era baru ini bukan tim satu orang, melainkan unit yang bekerja secara harmonis.
Tidak ada Messi, tidak ada Neymar, tidak ada Mbappé—dan hasilnya? Sebuah gelar Liga Champions yang selama ini terus dikejar dan akhirnya digenggam untuk pertama kalinya.
Semua pemain dapat menyumbang ke kemenangan tim, Dembele membukukan 33 gol di semua kompetisi tetapi di belakangnya ada Bradley Barcola (21 gol), Goncalo Ramos (18), dan Desire Doue (13) yang juga mencetak dobel digit gol.
Bagi presiden klub Nasser Al-Khelaifi dan para penggemar, ini bukan hanya soal trofi, tapi validasi bahwa tim yang dibangun atas dasar kebersamaan dan filosofi jelas, lebih berpeluang juara daripada tim yang bergantung pada bintang (*)
Editor: Arifin BH