14 June 2025

Get In Touch

Interupsi Penetapan Batas Omzet Pajak Mamin Hingga Memicu Skorsing Paripurna DPRD Kota Malang

Suasana paripurna Ranperda Pajak dan Retribusi Daerah di DPRD Kota Malang sempat diskors 15 menit, Kamis (12/6/2025). (Santi/Lentera)
Suasana paripurna Ranperda Pajak dan Retribusi Daerah di DPRD Kota Malang sempat diskors 15 menit, Kamis (12/6/2025). (Santi/Lentera)

MALANG (Lentera) - Sidang paripurna terkait Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) di DPRD Kota Malang, Kamis (12/6/2025), diwarnai skorsing selama 15 menit.

Skorsing dilakukan usai beberapa anggota dewan, salah satunya anggota Fraksi PKB, Arief Wahyudi, mengajukan interupsi.

Arief menyampaikan keberatannya terhadap penetapan batas omzet minimal sebesar Rp15 juta sebagai dasar pengenaan pajak untuk pelaku usaha makanan dan minuman (mamin).

Arief meminta agar Pasal 8 ayat 2 Ranperda PDRD direvisi sebelum ditetapkan menjadi Perda, khususnya mengenai batas omzet pelaku usaha mamin yang dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

"Omzet Rp15 juta per bulan itu kalau dibagi 30 hari, artinya pelaku usaha bisa dikenakan pajak hanya dengan pendapatan Rp500 ribu per hari. Penjual gorengan pun bisa masuk kategori ini. Maka kami minta dinaikkan ke Rp25 juta agar tidak memberatkan pelaku usaha kecil," ujar Arief, ditemui di tengah skorsing paripurna tersebut.

Arief menjelaskan, usulan Rp25 juta telah diajukan Fraksi PKB melalui dua perwakilan dalam pembahasan pansus. Namun, usulan tersebut tidak diakomodasi dalam naskah akhir Ranperda.

"Dalam pansus kami sudah usulkan Rp25 juta, tapi kalah suara. Tidak masalah. Tapi ketika masuk paripurna, suara yang diambil adalah suara seluruh anggota DPRD. Maka saya bersikap atas nama suara masyarakat dan fraksi kami, tetap pada Rp25 juta," lanjutnya.

Arief menyoroti tidak adanya klausul eksplisit dalam Ranperda yang menyebutkan pengecualian bagi pedagang kaki lima (PKL) atau pelaku usaha dengan sistem bongkar pasang tenda. Padahal, menurutnya, pernyataan dari berbagai pihak, termasuk Wali Kota Malang, menyebutkan pentingnya melindungi pelaku usaha kecil.

"Statement Pak Wali maupun fraksi lain mengatakan PKL harus dilindungi. Tapi di dalam Perda tidak ada kalimat itu, yang ada hanya istilah restoran. Kalau memang ingin melindungi, tulis saja di pasal penjelasan, misalnya pelaku usaha tenda bongkar pasang tidak dikenai pajak dan akan diatur dalam Perwal. Tapi itu juga tidak ada," katanya.

Sementara itu, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menjelaskan skorsing merupakan hal yang wajar dan merupakan bagian dari dinamika pembahasan Ranperda. Menurutnya, masing-masing fraksi memiliki pertimbangan sendiri-sendiri dalam menyikapi Ranperda PDRD.

"Tadi memang sempat diskors 15 menit karena ada dinamika. Tapi setelah itu kami sepakati bersama terkait batas omzet Rp15 juta ini. Kami juga akan mengawal pelaksanaan Perda ini setelah diundangkan," ujar Amithya.

Perempuan yang akrab dengan sapaan Mia, ini mengakui dalam Ranperda memang tidak dicantumkan secara eksplisit jenis usaha yang dikecualikan dari pajak, termasuk PKL. Namun, menurutnya pendekatan yang diambil adalah berbasis omzet.

"Awalnya kan yang diatur dalam Perda itu batas omzet Rp5 juta, lalu (dalam pansus) dinaikkan ke Rp15 juta. Ada usulan dari PKB dan PDIP sebesar Rp25 juta. Tapi akhirnya dimusyawarahkan dan diputuskan Rp15 juta dengan pertimbangan berbagai hal," jelasnya.

Mia menambahkan, DPRD akan tetap melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda. Termasuk dalam penyusunan Peraturan Wali Kota (Perwal) yang akan menjadi aturan turunan.

"Yang jelas nanti akan kita evaluasi pelaksanaannya. Kita lihat berapa banyak pelaku usaha makanan dan minuman yang terdampak, termasuk PKL, berdasarkan omzet yang mereka hasilkan," pungkasnya.

Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.