15 June 2025

Get In Touch

Konten Animasi Absurd Bisa Akibatkan Anak Jadi Kasar dan Mudah Tersinggung

Dra. Lisa Narwastu Kristsuana, M.PSDMDosen Pendidikan Guru PAUD, Petra Christian University (PCU).
Dra. Lisa Narwastu Kristsuana, M.PSDMDosen Pendidikan Guru PAUD, Petra Christian University (PCU).

SURABAYA (Lentera) - Berbagai konten animasi absurd kini membanjiri layar gawai anak-anak. Konten yang menampilkan benda mati atau hewan berperilaku seperti manusia ini, meski tidak logis, justru menarik bagi anak-anak yang masih berada dalam fase imajinatif. Namun dampaknya, bisa mengakibatkan anak-anak cenderung lebih kasar, mudah tersinggung, bahkan mengalami kecemasan berlebih.

Dosen Program Studi Pendidikan Guru PAUD di Petra Christian University (PCU), Dra. Lisa Narwastu Kristsuana, M.PSDM., menerangkan imajinasi memang merupakan bagian penting dalam tumbuh kembang anak, khususnya sejak usia dua tahun.  Namun, saat anak memasuki usia enam tahun, kemampuan berpikir logis mulai berkembang dan perlu dilatih melalui paparan yang tepat.

Fenomena konten digital tersebut seperti Ballerina Cappucina, Tralalero Tralala. “Dulu kita mengenal Barbie atau Harry Potter, yang tetap menyisakan logika dalam cerita. Sekarang, imajinasinya makin absurd dan tidak terkendali,” ucapnya, Jumat (13/6/2025).

Lisa menjelaskan, maraknya konten ini diperkuat oleh algoritma digital yang mendorong konsumsi berulang, membuat anak menjadi penikmat pasif dari tayangan yang tidak mendidik.

“Ibarat tanaman yang disiram sembarangan, otak anak bisa rusak. Mereka jadi sulit fokus, emosinya labil, dan kehilangan arah,” jelasnya.

Ketika otak terus-menerus menerima rangsangan acak, produksi dopamin menjadi tidak teratur dan memicu kondisi yang disebut brainrot, penurunan fungsi otak secara bertahap, baik dalam aspek kognitif, emosional, maupun sosial. Dampaknya, anak-anak cenderung jadi pasif dan emosional, serta mengalami kecemasan berlebih.

“Banyak orang tua mengeluh anaknya jadi ketus, lebih senang menyendiri, dan enggan berinteraksi kecuali dengan gawai,” tutur dosen yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Keguruan PCU.

Selain itu, empati anak bisa terkikis karena terbiasa menyaksikan konten tak bernurani. Namun, larangan total bukanlah solusi. 

Menurut Lisa, kunci perlindungan anak justru terletak pada kekuatan relasi dan komunikasi yang hangat dengan orang dewasa. “Semakin dilarang, semakin anak ingin melawan. Kita harus hadir sebagai teman bicara yang bijak, bukan penghakim,” ungkapnya.

Kepercayaan diri dan rasa aman yang dibangun dari rumah akan menjadi pelindung terbaik bagi anak dari pengaruh negatif dunia digital.

Dalam era digital yang serba cepat dan penuh distraksi, kehadiran orang dewasa yang hangat, sadar nilai, dan penuh pengertian adalah fondasi utama bagi tumbuh kembang anak yang sehat. “Anak harus merasa dirinya berharga, bukan karena diterima teman, tapi karena tahu bahwa dirinya dikasihi,” tutupnya. (*)

Reporter: Amanah
Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.