
Serial Tehran produksi Apple TV bisa jadi hanya hiburan bagi sebagian besar penonton global. Namun bagi mereka mengikuti dinamika politik Timur Tengah dan permainan kekuasaan global, serial ini tampak seperti naskah bocor dari dokumen operasi intelijen. Ia menggambarkan upaya seorang agen Mossad menyusup ke Iran, menyabotase sistem pertahanan udara, dan menjalankan operasi senyap demi satu misi strategis—adalah melemahkan program nuklir Iran.
Tehran menggambarkan kehidupan agen Mossad Tamar Rabinyan menyusup ke jantung infrastruktur militer Iran. Dengan misi menggagalkan sistem pertahanan udara Iran, serial ini memetakan bagaimana negara seperti Israel menggunakan jalur teknologi, infiltrasi sosial, dan manipulasi psikologis untuk menjalankan agenda geopolitiknya.
Apa yang terlihat seperti fiksi justru mencerminkan berbagai operasi nyata. Israel, melalui jaringan intelijen Mossad, telah berkali-kali menjalankan aksi
Yang menarik—atau justru mengkhawatirkan—adalah betapa narasi dalam serial ini kini tampak nyata. Iran meluncurkan serangan langsung ke wilayah Israel sebagai balasan atas serangan udara Israel ke konsulat Iran di Damaskus. Serangan ini mencakup ratusan drone dan rudal balistik, menandai bahwa "perang bayangan" selama ini terjadi telah berubah menjadi perang terang-terangan. Dalam momen itu, dunia sadar: Tehran bukan sekadar serial, tapi proyeksi nyata dari strategi kekuasaan.
Penyebabnya bukan satu-dua hal. Konflik antara Iran dan Israel adalah benturan panjang antara dua visi besar kawasan—poros perlawanan dan kedaulatan (Iran), melawan poros proteksi atas kepentingan Barat (Israel, didukung penuh oleh Amerika Serikat).
Israel dan AS selama bertahun-tahun membungkus operasinya terhadap Iran dengan narasi moral—mencegah proliferasi senjata nuklir. Namun pada dasarnya, ini adalah konflik geopolitik atas pengaruh dan kendali kawasan, terutama di tengah berubahnya peta dunia akibat kebangkitan China dan ketegangan baru antara Timur dan Barat.
Iran tak tunduk pada dolar dan tidak memberi ruang bagi pangkalan militer AS, menjadi anomali yang harus ditekan. Apalagi, Iran memiliki jaringan aliansi nonformal di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Dalam kacamata Washington dan Tel Aviv, ini adalah “lingkaran api” yang harus diputus.
Maka sabotase dilakukan. Mulai dari serangan cyber (seperti Operasi Stuxnet) hingga pembunuhan ilmuwan nuklir Iran, semuanya menjadi upaya sistematis sejalan dengan strategi dalam Tehran. Serial itu bahkan terasa seperti narasi pembenaran publik atas operasi-operasi tersebut—sebuah kampanye lunak yang menyusup ke dalam ruang budaya populer.
Dalam perang modern, senjata paling awal bukan lagi peluru, melainkan narasi. Serial seperti Tehran memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dunia:
Mossad digambarkan sebagai "korps profesional yang humanis". Kemudian Iran digambarkan sebagai negeri yang penuh rahasia dan ketertinggalan. Penonton diarahkan untuk bersimpati pada agen penyusup, bukan korban operasi.
Kondisi ini menciptakan pembenaran publik global terhadap kebijakan luar negeri agresif Israel dan Amerika Serikat. Di sinilah pentingnya kesadaran publik untuk memisahkan fakta dan fiksi, serta membaca ulang serial populer dengan lensa kritis.
Iran dan Logika Bertahan
Yang tak banyak dibicarakan adalah kemampuan bertahan Iran di tengah tekanan yang luar biasa. Iran selama dua dekade terakhir telah menghadapi sanksi ekonomi, isolasi diplomatik, tekanan narasi dan kini diserang secara milter oleh Israel. Namun alih-alih runtuh, Iran justru membangun sistem pertahanan sosial dan ideologis yang tidak mudah ditembus.
Meski memiliki keterbatasan ekonomi akibat sanksi internasional, Iran telah menunjukkan kapasitas bertahan yang mengesankan selama lebih dari 40 tahun. Mereka membangun sistem yang kuat berbasis ideologi, militer semi-negara (Revolusioner Guard), dan diplomasi bayangan.
Iran juga memiliki keunggulan eperti jaringan aliansi nonformal melalui Hizbullah, Houthi, PMU (Irak), dan kelompok milisi Syiah lainnya. Teknologi rudal dan drone buatan dalam negeri yang kian presisi dan murah. Kemampuan mobilisasi rakyat melalui sistem Basij dan jaringan keagamaan. Dukungan naratif dari negara-negara Global South yang melihat Iran sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni Barat.
Kemenangan bagi Iran bukan berarti menaklukkan Israel, tetapi membuat Israel dan AS gagal mencapai tujuan strategis mereka mengganti rezim Iran, menghancurkan kekuatan militernya, dan memutus jaringan pengaruhnya.
Perang ini, jika terus berlanjut, justru bisa menjadi jebakan jangka panjang bagi Israel dan sekutunya. Perang terbuka dengan Iran bukan seperti operasi militer singkat di Gaza atau Lebanon. Ini adalah konflik dengan negara yang berdaulat, memiliki kekuatan industri militer, serta dukungan domestik berbasis ideologi.
Iran tidak perlu “mengalahkan” Israel dalam artian konvensional. Cukup bertahan dan menimbulkan kelelahan perang di pihak lawan, Iran telah mencetak poin strategis. Bahkan, dalam konteks politik global, Iran justru sedang memosisikan diri sebagai pusat solidaritas baru dari negara-negara Global South yang muak pada standar ganda geopolitik Barat.
Apakah Tehran hanyalah fiksi yang kebetulan sesuai kenyataan? Ataukah ia adalah bagian dari strategi naratif global—semacam soft campaign—yang ingin membentuk opini publik secara halus? Dalam dunia pasca-kebenaran, pertanyaan ini patut diajukan. Apalagi, dunia saat ini sedang berada dalam pusaran konflik informasi di mana narasi lebih dulu menyerang sebelum peluru ditembakkan.
Yang jelas, kita tak bisa lagi melihat perang Israel-Iran dengan lensa sempit. Ini bukan konflik dua negara semata, melainkan pertarungan besar antara model dunia yang ingin tetap unipolar dengan kekuatan yang menolak tunduk.
Dan jika sejarah mengajarkan satu hal, itu adalah bangsa yang memilih bertahan meski dihimpit dari segala arah, sering kali keluar sebagai pemenang. Mungkin bukan secara militer, tapi dalam sejarah dan martabat.
Dunia hari ini dibanjiri tontonan menghibur, tapi beberapa di antaranya membawa agenda yang dalam. Serial Tehran mungkin ditulis sebagai karya fiksi, tapi ia mencerminkan strategi realistik dari sistem kekuasaan global yang menghalalkan infiltrasi, sabotase, bahkan perang.
Sebagai masyarakat dunia yang terus dicekoki narasi tunggal, penting bagi kita untuk bertanya ulang: siapa penulis cerita ini? Dan siapa yang mengambil keuntungan dari alur yang tampaknya "kebetulan sama" antara drama layar dan drama diplomatik?
Iran menggambarkannya sebagai satu-satunya ancaman dan Israel sebagai satu-satunya demokrasi Timur Tengah adalah narasi yang terlalu hitam-putih untuk dunia yang serba kompleks ini.
Kemenangan tak selalu datang dari ledakan, tetapi bisa lahir dari keteguhan dan kemampuan bertahan di tengah badai. Dalam medan itu, Iran telah membuktikan diri sebagai aktor sulit ditaklukkan—baik dalam serial maupun kenyataan.
Oleh: Sukarjito, Pimpinan Redaksi Lenteratoday.com