
MALANG (Lentera) - Angka prevalensi stunting di Kota Malang menunjukkan perbedaan yang cukup jauh berdasarkan dua metode pengukuran yang digunakan. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinkes Kota Malang, Rina Istarowati, menjelaskan perbedaan tersebut disebabkan oleh metode pengambilan data yang berbeda.
Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) mencatat angka 22,7 persen. Sedangkan data Bulan Timbang melalui elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), menunjukkan angka lebih rendah, yakni 8 persen. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang pun memberikan penjelasan atas selisih tersebut.
"Metode SSGI dilakukan melalui survei sampling selama tahun 2024, yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 20 Mei 2025 mencatat angka prevalensi stunting sebesar 22,7 persen. Sedangkan e-PPGBM menggunakan data riil dari balita yang datang dan ditimbang langsung di posyandu atau fasilitas kesehatan," ujar Rina, Kamis (19/6/2025).
Ditambahkannya, data Bulan Timbang yang dilakukan pada Desember 2024, menunjukkan prevalensi stunting di angka 8 persen.
Rina menyebutkan, dalam survei SSGI terdapat sekitar 589 anak di Kota Malang yang dijadikan sampel. Di mana dari jumlah tersebut, sebanyak 119 balita masuk dalam kategori stunting. Angka ini kemudian diproses lebih lanjut dengan formula tertentu yang menghasilkan prevalensi 22,7 persen.
"SSGI menggunakan responden sebagian kecil dari total populasi. Sementara data Bulan Timbang mencakup jumlah yang lebih besar karena seluruh balita yang datang ditimbang dan diukur tinggi badannya," jelasnya.
Menurutnya, kedua data tersebut sama-sama dijadikan pedoman dalam menyusun program dan intervensi penurunan stunting di Kota Malang. Namun, untuk melihat tren secara langsung di lapangan, Dinkes Kota Malang cenderung mengacu pada data e-PPGBM yang dikumpulkan secara rutin dan berskala luas.
"Kalau kita lihat dari data penimbangan langsung, memang trennya menurun. Tahun sebelumnya sempat di angka 17,3 persen, lalu menurun secara bertahap hingga menjadi 8 persen pada Desember 2024," imbuhnya.
Selain menjelaskan perbedaan metode, Dinkes juga mencatat adanya variasi angka stunting di tingkat kelurahan. Data terakhir menunjukkan Kelurahan Balearjosari, Kecamatan Blimbing, memiliki angka stunting tertinggi. Dengan prevalensi 22 persen.
Sedangkan angka stunting terendah tercatat di Kelurahan Rampal Celaket, Kecamatan Klojen dengan angka 1 persen.
Lebih lanjut, Rina juga menyampaikan, upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua jenis intervensi, yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi spesifik merupakan penanganan langsung terhadap kasus stunting dan pencegahannya, seperti pemberian tablet tambah darah kepada remaja putri dan pemantauan kehamilan.
"Kami sudah menyediakan layanan pemeriksaan kehamilan. Tapi ini perlu didukung kesadaran ibu hamil untuk rutin memeriksakan diri. Begitu juga balita, perlu dibawa ke posyandu secara rutin untuk ditimbang dan diukur tinggi badannya," tuturnya.
Direktur RSUD Kota Malang ini juga menekankan pentingnya masa 1.000 hari pertama kehidupan anak, yang menjadi periode emas tumbuh kembang. Pada masa ini, lanjutnya, pemberian gizi seimbang kepada ibu hamil, inisiasi menyusu dini, dan ASI eksklusif enam bulan pertama merupakan masa emas, yang menjadi aspek penting dan tidak bisa diulang.
"Periode itu jangan sampai hilang karena nanti menentukan kelanjutan dari si bayi," katanya.
Untuk itu, Dinkes menilai perlunya upaya edukasi dan sosialisasi yang terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, mengingat mobilitas tinggi di wilayah perkotaan. Menurut Rina, intervensi sensitif seperti kemampuan keluarga dalam mengakses pangan bergizi juga menjadi faktor penting dalam mencegah stunting.
"Maka, untuk menyadarkan masyarakat kalau masa emas ini sangat penting, pemberian informasi dan edukasi harus berjalan terus menerus, gak bisa berhenti. Artinya tetap harus diulang, ditingkatkan lagi," pungkasnya. (*)
Reporter: Santi Wahyu
Editor : Lutfiyu Handi