26 June 2025

Get In Touch

Dunia di Ambang Perang Siber Global 

Dunia di Ambang Perang Siber Global 

Oleh: Bagus Tri Widiantoro

Ketika rudal dan drone meledak di langit Timur Tengah, ada perang lain yang tak kasatmata sedang berlangsung—di balik layar, dalam bentuk bit dan byte. Konflik antara Iran dan Israel, yang kini memanas dan mendapat dukungan politis serta diplomatik dari Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, telah menimbulkan kekhawatiran dunia akan potensi eskalasi global. Namun, berbeda dengan dua perang dunia sebelumnya, medan tempur hari ini tidak hanya di darat, laut, dan udara, tetapi juga di ranah maya. Kita sedang menyaksikan lahirnya perang dunia siber.

Perang yang Sudah Dimulai

Perang siber bukanlah ancaman masa depan. Ia adalah realitas saat ini. Salah satu contohnya yang paling terkenal adalah operasi Stuxnet pada 2010, ketika virus komputer buatan Amerika Serikat dan Israel berhasil merusak sentrifugal nuklir Iran tanpa menjatuhkan satu pun bom. Itu adalah momen bersejarah yang menandai bahwa perang siber bisa menggantikan sabotase fisik (Zetter, 2014, Countdown to Zero Day).
Sejak itu, serangan demi serangan terus terjadi. Pada 2020, kelompok peretas yang diduga didukung Iran mencoba meretas sistem air minum di Israel dan mengubah kadar klorin dalam pasokan air, serangan yang digagalkan oleh otoritas Israel (Schneier, 2020). Di sisi lain, Israel diduga menyerang jaringan kereta api Iran sebagai bentuk balasan (The Washington Post, 2021). Bahkan, rumah sakit dan media menjadi target—menunjukkan bahwa perang ini tak lagi hanya milik militer.

Dalam konflik Rusia-Ukraina, serangan siber menjadi senjata pendahulu sebelum invasi militer. Situs-situs kementerian Ukraina dilumpuhkan, dan sistem energi disabotase oleh malware canggih seperti NotPetya dan Industroyer (Wired, 2017). Di sisi lain, "IT Army of Ukraine" yang beranggotakan ribuan relawan digital dari seluruh dunia menjadi bukti bahwa medan perang siber membuka ruang partisipasi sipil secara global.

Mengapa Siber Sangat Strategis?

Tidak seperti perang fisik, perang siber itu murah, cepat, dan sulit dilacak. Satu tim kecil peretas bisa menyebabkan kerugian miliaran dolar hanya dengan menyerang sistem logistik, jaringan listrik, atau bank. Bahkan opini publik bisa dikendalikan melalui serangan informasi dan hoaks.
Menurut Profesor Joseph Nye dari Harvard University, "In the information age, it may be the state with the best story that wins" (CNN, 2011). Dalam bukunya The Future of Power (2011), Nye juga menulis bahwa informasi adalah senjata strategis dalam perebutan kekuasaan global.

Bagaimana Indonesia Harus Bersikap?

Indonesia, dengan populasi digital terbesar keempat di dunia, tidak kebal terhadap dampak perang siber global. Meski kita bukan target utama, cyber spillover—atau limpahan efek samping digital—bisa merusak sistem kita. Infrastruktur digital seperti server, jaringan perbankan, dan layanan publik bisa lumpuh jika tidak siap.

Lebih dari itu, Indonesia sangat rentan terhadap disinformasi. Serangan opini melalui media sosial bisa memecah belah masyarakat dan menciptakan instabilitas politik. Ini bukan spekulasi. Sudah terjadi.

Apa yang Harus Kita Lakukan?
1.    Membangun Ketahanan Siber Nasional
Pemerintah harus memperkuat peran Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai garda terdepan.

2.    Mendorong Kedaulatan Digital
Penggunaan server lokal, regulasi data yang ketat, dan pengembangan platform digital buatan dalam negeri harus menjadi prioritas.

3.    Menggerakkan Komunitas IT
Praktisi dan pelajar IT harus diberi ruang untuk membentuk komunitas pertahanan siber nasional, seperti Cyber Defense Community.

4.    Memperkuat Media dan Literasi Publik
Wartawan dan media harus proaktif dalam memverifikasi informasi, serta menyajikan berita yang memperkuat kohesi sosial, bukan memecah belah.

Kita Bisa Jadi Korban atau Jadi Tembok Pertahanan

Jika perang dunia ketiga benar-benar terjadi, medan digital akan menjadi salah satu arena utamanya. Bangsa yang siap adalah bangsa yang punya perlindungan data, pertahanan sistem, dan kecerdasan informasi.

Indonesia tidak boleh hanya jadi korban serangan, tapi harus menjadi aktor aktif dalam menjaga stabilitas dunia digital. Kita punya cukup sumber daya manusia di bidang IT. Yang kita butuhkan adalah arah, koordinasi, dan kesadaran nasional.

Seperti kata Bruce Schneier, pakar keamanan digital dunia, "Only amateurs attack machines; professionals target people" (Schneier, 2000). Maka, edukasi dan partisipasi rakyat adalah kunci.
________________________________________
Referensi:
•    Zetter, K. (2014). Countdown to Zero Day. Crown Publishing.
•    Schneier, B. (2000). Semantic Attacks: The Third Wave of Network Attacks, Schneier on Security.
•    CNN Opinion (2011). Joseph Nye: In an information age, soft power wins.
•    Wired (2017). How NotPetya Cyberattack Spread and Hit the World.
•    The Washington Post (2021). Israel’s suspected cyberattack on Iran’s rail system.
________________________________________
Penulis adalah Direktur Utama PT Integra Inovasi Bersama Indonesia, perusahaan teknologi yang bergerak di bidang Data Analytics dan Artificial Intelligence.
 

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.