Fakta Mengejutkan "Kolak Goblok" Hidangan Tradisional Poncokusumo yang Diajukan Jadi Warisan Budaya

MALANG (Lentera) - Fakta mengejutkan di balik namanya yang memancing tanya, "Kolak Goblok" menyimpan kekayaan rasa dan tradisi yang turun-temurun hidup di tengah masyarakat Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Minuman khas ini, kini tengah diusulkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang untuk mendapatkan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Pecinta budaya sekaligus warga asli Poncokusumo, Khoirul Anam, menjelaskan nama Kolak Goblok memang sudah dikenal sejak lama di wilayahnya. Meski terdengar ambigu, nama tersebut bukan bentuk umpatan atau sindiran, melainkan memang nama asli yang diwariskan dari generasi ke generasi.
"Memang namanya Kolak Goblok. Itu sudah dari dulu, dari orang-orang tua kami di Poncokusumo," ujar pria yang akrab dengan sapaan Mbahrul ini, dikonfirmasi melalui sambungan selular, Senin (30/6/2025).
Ketika ditanya soal asal-usul nama uniknya, Mbahrul menyebutkan nama tersebut berasal dari penyebutan warga lokal untuk bunga labu yang disebut doblok.
Ia menduga, telah terjadi pergeseran pelafalan hingga akhirnya disebut Goblok, meski ia menekankan bahwa itu hanya persepsinya, bukan kesimpulan resmi atau baku.
"Mungkin dulu ada yang cadel atau bagaimana, sehingga nenek moyang kami memberinama Goblok. Seperti nama orang, Pairi, tetapi kemudian tertulis Paidi. Nah sampai tua pun dipanggilnya Paidi. Itu persepsi saya, ya. Bukan alasan baku," katanya.
Lebih lanjut, Mbahrul menjelaskan minuman ini terbuat dari labu utuh yang kemudian diolah. Labu dilubangi, bijinya dikeluarkan untuk kemudian disemai kembali, dan bagian dalamnya diisi dengan campuran kelapa parut, gula aren, dan sedikit garam.
Paduan bahan tersebut, menurutnya menghadirkan rasa manis, gurih, dan sedikit asin. "Kalau rasanya itu ada manisnya, ada gurihnya, ada asinnya sedikit," tambahnya.
Menurut Mbahrul, bentuk dan komposisi tersebut memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan filosofi hidup. "Warna oranye labunya itu melambangkan keharmonisan, sedangkan isi di dalamnya yang berwarna putih menggambarkan bahwa suatu saat kita kembali ke Sang Pencipta dalam keadaan bersih," tuturnya.
Dahulu penyajian Kolak Goblok biasanya dilakukan dalam momen khusus. Terutama saat selamatan H+7 Idul Fitri. Yang dikenal sebagai ritual "selametan" hewan peliharaan di Poncokusumo.
Dalam acara tersebut, Kolak Goblok menurutnya menjadi sajian utama bersama ketupat segitiga, tanpa tambahan bahan lain seperti pisang atau singkong. "Kalau ada tambahan bahan lain, nanti filosofinya beda," kata Mbahrul.
Saat ini, Kolak Goblok tidak dijual secara bebas di pasaran. Masyarakat yang ingin mencicipinya bisa memesan secara khusus, terutama saat mengunjungi atau berwisata ke desa wisata Poncokusumo.
Dalam konteks pengembangan pariwisata desa, Mbahrul melihat potensi besar yang bisa ditawarkan Kolak Goblok jika resmi ditetapkan sebagai WBTB. "Harapannya, orang bicara Kolak Goblok itu langsung teringat Poncokusumo. Seperti kalau kita bicara gudeg, orang langsung ingat Jogja, atau brem yang identik dengan Madiun," ucapnya.
Meski tidak tercatat secara tertulis sejak kapan Kolak Goblok dikenal, keberadaannya masih terus dipertahankan oleh warga. Mbahrul menegaskan, hingga kini tradisi menyajikan minuman khas ini tetap hidup di tengah masyarakat, terutama saat momen-momen tertentu.
Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH