06 July 2025

Get In Touch

Akhir Pekan: Gaza yang Tidak Terlupakan

Seorang anak Palestina menangis di tengah kerumunan orang yang tengah menanti makanan hangat di pos distribusi makanan di kamp pengungsian Nuseirat di Jalur Gaza tengah pada Sabtu (24/5/2025). PBB menyebutkan bahwa warga Palestina kini berada dalam fase pa
Seorang anak Palestina menangis di tengah kerumunan orang yang tengah menanti makanan hangat di pos distribusi makanan di kamp pengungsian Nuseirat di Jalur Gaza tengah pada Sabtu (24/5/2025). PBB menyebutkan bahwa warga Palestina kini berada dalam fase pa

KOLOM (Lentera) -Mohammad Sager, ayah tiga anak, beringsut merangkak di pinggir jalan ketika tank memuntahkan rentetan peluru ke arah massa di dekat pos pembagian bantuan di Gaza, Palestina, pekan lalu. ”Menegakkan kepala bisa berarti kematian,” ujarnya.

Tubuh Sager seperti beku ketika ia menyaksikan orang-orang di sekitarnya tumbang oleh terjangan peluru. Tua dan muda. Namun, wajah anak-anaknya melintas dalam benak dan memberinya tenaga untuk tetap bergerak.

Meski mempertaruhkan nyawa, hari itu sekantong terigu pun tak bisa dibawanya pulang. Keesokan harinya, ia kembali lagi ke pos itu karena anak-anaknya sudah lama menanggung lapar.

Omar Al Hobi juga mempertaruhkan nyawa untuk mendapat gandum, beras, atau kacang-kacangan. ”Tergantung mood tentara-tentara itu. Kalau mood-nya jelek, mereka akan menembak saya…,” ujarnya.

Begitu buruknya keadaan sehingga mereka yang memperoleh bahan makanan pun tak jarang terancam, dilukai, dan dirampas perolehannya oleh orang lain yang juga kelaparan. ”Ini bukan bantuan. Ini penghinaan, kematian…,” kata Jamil Atili, warga Gaza lainnya, dalam laporan Associated Press, Sabtu (21/6/2025).

Israel memblokade Gaza dan menutup akses bantuan kemanusiaan mulai awal Maret 2025. Tekanan internasional membuat Israel dan Amerika Serikat mengoperasikan Gaza Humanitarian Foundation (GHF) untuk menyalurkan bantuan ke Gaza.

Akan tetapi, prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan dilanggar oleh badan bentukan AS-Israel itu. Kepala Badan PBB untuk Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA) Phillippe Lazzarini menyebutkan, cara kerja GHF justru menghancurkan martabat warga yang sudah berada dalam keadaan kritis.

”Seperti jebakan kematian yang memakan korban lebih banyak daripada menyelamatkannya,” ujarnya. GHF juga dinilai menjadikan bantuan sebagai instrumen politik untuk menggiring warga Gaza ke zona militer Israel.

Sejak pecah perang antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023, lebih dari 56.000 warga Gaza tewas. Di sejumlah negara, menggema teriakan agar pemimpin-pemimpin dunia tidak membiarkan saja genosida oleh Israel di Gaza.

Merespons situasi Gaza, puluhan ribu pengunjuk berusaha menggedor nurani di jalan-jalan utama kota besar dunia, dari Paris, New York, London, Brussels, hingga Den Haag. Gerakan sipil mendukung Palestina terus menguat. Aktivis kemanusiaan; kalangan profesional, seperti asosiasi hakim dan praktisi medis; hingga seniman menyuarakan kepedihan Gaza.

Lebih dari 300 aktris dan aktor bersurat kepada Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mendesak tindakan pemerintah kepada Israel. Di Festival Film Cannes, Mei lalu, selebritas Hollywood dalam surat terbuka menyuarakan hal serupa.

Di Times Square, New York, Rabbi Yisroel Dovid Weiss yang berselempang kafiyeh berpidato bahwa membela rakyat Gaza bukanlah sikap antisemit. Pemuka Yahudi Amerika ini menegaskan identitas Yahudi tidak layak dicuri dan dipakai untuk membenarkan pembantaian warga Gaza.

Di parlemen Uni Eropa, penentangan atas kejahatan kemanusiaan di Gaza, antara lain, disuarakan oleh anggota parlemen dari Belgia, Irlandia, Swedia, dan Spanyol. Mereka mendesak agar kesepakatan kerja sama Uni Eropa dengan Israel dibekukan.

Mengutip Kompas, sejumlah pemimpin negara Eropa, antara lain Presiden Perancis Emmanuel Macron dan PM Spanyol Pedro Sanchez, juga mendesakkan gencatan senjata segera di Gaza. Sayangnya, mekanisme Dewan Keamanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) tetap lumpuh karena veto AS terhadap resolusi gencatan senjata di Gaza.

Narasi jahat

Mengapa Israel ”nyaman” saja melakukan kejahatan kemanusiaan di Gaza? Gideon Levy, jurnalis senior di media Israel Haaretz, meringkas tiga sebabnya. Pertama, kepercayaan sebagai umat terpilih ditanamkan dan diartikan sebagai kebebasan untuk melakukan apa saja.

Kedua, di Palestina, Israel berlaku sebagai penjajah, tetapi justru merepresentasikan diri sebagai korban. Bahkan, satu-satunya korban. Leluhur merekalah yang dianiaya dan dirampas tanahnya.

Sebab ketiga adalah dehumanisasi secara sistematik terhadap rakyat Palestina. Sikap memandang manusia lain bukan sebagai sesama manusia dengan harkat setara. Pandangan itu menghapus rasa bersalah atas perbuatan kejam.

Mengakarnya narasi dan indoktrinasi itu memungkinkan publik melihat tentara-tentara Israel, banyak di antaranya amat belia, bangga memamerkan kekejaman di Gaza lewat media sosial.

Publik pun merespons hal ini. Yayasan Hind Rajab mengumpulkan lebih dari 8.000 unggahan video para prajurit Israel yang memuat kekejaman mereka di Gaza dan melaporkannya sebagai kejahatan perang.

Di Kyoto, Jepang, hotel meminta turis Israel menandatangani pernyataan tidak terlibat kejahatan perang untuk dapat menginap. Di Naples, Italia, seorang pemilik restoran meminta rombongan turis Israel meninggalkan restoran di tengah perdebatan mereka soal Gaza.

Di mana pun berada, kita tak dapat lagi menepikan Gaza dari ingatan. Seperti petikan kalimat penyair Palestina, Mahmoud Darwish, yang dipopulerkan lagi oleh aktor Richard Gere ini:

As you sleep and count the stars, think of others (those who have nowhere to sleep).

As you liberate yourself in metaphor, think of others (those who have lost the right to speak).

As you think of others far away, think of yourself (say: ”If only I were a candle in the dark”).

Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.