16 July 2025

Get In Touch

Krisis Narasi di Era Post-Truth, Peran Humas dalam Membangun Literasi Publik

Krisis Narasi di Era Post-Truth, Peran Humas dalam Membangun Literasi Publik

Oleh: I Gede Alfian Septamiarsa*

KITA saat ini sedang hidup di masa ketika kebenaran tidak lagi ditentukan oleh data dan fakta, melainkan oleh siapa yang paling cepat menyebar, paling menarik perhatian, dan paling menggugah emosi. Era ini disebut post-truth, sebuah kondisi ketika opini pribadi dan sentimen emosional lebih dipercaya ketimbang realitas objektif.

Istilah ini bukan sekadar tren bahasa. Post truth mencerminkan perubahan mendasar dalam cara masyarakat membentuk persepsi dan sikap terhadap isu-isu publik. Oxford Dictionaries menobatkan “post-truth” sebagai Word of the Year pada 2016, menandai lonjakan hoaks, teori konspirasi, dan polarisasi informasi pasca-Brexit dan Pilpres Amerika Serikat.

Dalam beberapa kajian, era post-truth selalu ditandai dengan munculnya informasi yang mengandung hoaks. Edelman Trust Barometer pada tahun 2018 melaporkan saking banyaknya berita hoaks, 2 dari 3 orang tidak bisa membedakan produk berita jurnalistik yang asli dan palsu.

Dalam lanskap seperti ini, tugas kehumasan mengalami perluasan yang signifikan. Humas tidak lagi cukup menjadi corong informasi formal. Ia harus menjadi penjaga nalar publik, pelurus arus narasi, dan perawat rasa percaya yang kian rapuh di tengah badai informasi.

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, publik kian rentan terhadap disinformasi. Media sosial, yang dulunya digadang-gadang sebagai ruang komunikasi yang demokratis, kini justru menjadi arena kontestasi narasi yang mana viralitas sering lebih penting daripada validitas. Dalam konteks ini, humas pemerintah dihadapkan pada tantangan yang tidak kecil. Bagaimana menjaga agar narasi publik tetap sehat di tengah badai hoaks, clickbait, dan opini yang dibungkus seolah-olah fakta.

Dalam menghadapi disinformasi, humas tak bisa lagi sekadar membacakan rilis berita. Ia harus menyusun narasi yang informatif sekaligus empatik. Dalam teori Framing (Entman, 1993), setiap pesan publik harus bisa memilih sudut pandang yang tepat dan menjadikannya lebih menonjol. Artinya, humas tidak hanya menyampaikan apa yang dilakukan pemerintah, tetapi juga membingkai makna dan menjelaskan konteks kebijakan secara manusiawi.

Menurut laporan Reuters Institute Digital News Report 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi media di Indonesia menurun hingga 5 poin dalam dua tahun terakhir. Sementara, survei dari Katadata Insight Center pada tahun yang sama menyebutkan bahwa 60 persen responden pernah termakan berita palsu di media sosial. Ini bukan sekadar alarm, tapi peringatan bahwa literasi informasi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.

Di tengah lanskap inilah, peran humas mengalami pergeseran. Dari sekadar corong informasi, menuju peran strategis sebagai penjaga narasi negara. Humas harus mampu menyusun pesan yang tidak hanya informatif, tapi juga edukatif dan transformatif. Kita tidak bisa lagi hanya menjelaskan apa yang dilakukan pemerintah. Kita harus mampu membingkai makna, menjelaskan konteks, dan menghadirkan empati dalam komunikasi.

Sayangnya, banyak komunikasi berkaitan dengan kebijakan masih bersifat teknokratis, birokratis, dan jauh dari keseharian masyarakat. Publik tidak mencari kata-kata sempurna. Mereka mencari cerita yang jujur, dekat, dan bisa dirasakan.

Kita pernah belajar dari krisis komunikasi saat awal pandemi COVID-19. Ketika informasi resmi lambat, rumor dan hoaks lebih dulu membentuk opini publik. Narasi yang paling keras, bukan yang paling benar, justru yang dipercaya. Ini bukti bahwa dalam era post-truth, kecepatan, kejelasan, dan kedekatan emosional sangat menentukan komunikasi yang efektif.

Dalam teori Agenda Setting (McCombs dan Shaw), media memengaruhi apa yang dianggap penting oleh publik. Maka humas harus menjadi bagian dari agenda building, menyusun dan menyampaikan isu dengan cara yang relevan, bukan sekadar formal.

Dalam situasi seperti ini, membangun literasi narasi menjadi pekerjaan utama. Humas perlu bertransformasi menjadi pendidik publik, bukan hanya pengirim pesan. Kita harus melatih publik untuk membaca pesan secara kritis, mengenali framing, membedakan antara opini dan fakta, serta memahami konteks kebijakan secara utuh.

Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah menyederhanakan komunikasi tanpa menyederhanakan makna. Misalnya, ketika menjelaskan kebijakan fiskal, jangan buru-buru masuk ke angka dan terminologi teknis. Mari kita mulai dari menceritakan bagaimana kebijakan itu berdampak pada harga sembako, gaji guru, atau listrik rumah tangga. Cerita yang dekat dengan kehidupan nyata, kata-kata yang membumi jauh lebih kuat daripada statistik yang jauh dari jangkauan rasa.

Upaya literasi juga perlu didukung oleh visual yang inklusif dan konten yang bisa diakses lintas generasi. Generasi Z dan milenial hidup dalam lanskap media yang berbeda. Mereka tidak membaca siaran pers, tapi menonton reels Instagram atau YouTube Shorts, scrolling TikTok, dan menyimak meme. Humas harus hadir di ruang-ruang ini menjadi digital storyteller yang bukan hanya pintar berbicara di podium, tetapi juga piawai menulis caption Instagram dan menyusun narasi visual yang menggugah.

Teori Uses and Gratifications menekankan bahwa publik memilih media berdasarkan kebutuhan, apakah itu informasi, hiburan, atau identitas sosial. Oleh karena itu, humas perlu menyampaikan pesan dengan pendekatan lintas format, lintas generasi, dan lintas platform.

Membangun literasi publik bukan soal kampanye satu arah, tapi dialog dua arah yang panjang dan sabar. Dan seperti dialog yang baik, keberhasilannya diukur bukan dari banyaknya yang kita sampaikan, tapi dari seberapa besar informasi yang dipahami dan dipercaya publik.

Tugas humas hari ini mungkin lebih rumit dari sebelumnya, tetapi justru lebih bermakna. Di tengah krisis kepercayaan dan ledakan informasi, humas bisa menjadi cahaya kecil yang menjaga agar warga tetap punya pegangan.

Humas memiliki peran yang sangat strategis menjadi penjaga akal sehat bangsa. Kita memang tidak bisa membungkam semua hoaks. Tapi kita bisa menyuarakan kebenaran dengan cara yang jujur, dekat, dan mudah dipahami. 

Karena pada akhirnya, narasi yang bertahan bukanlah yang paling viral, tetapi yang paling dipercaya. Dan kepercayaan hanya bisa tumbuh dari komunikasi yang konsisten, transparan, dan manusiawi.

*Penulis merupakan Pranata Humas Ahli Muda Biro Administrasi Pimpinan Setda Prov. Jatim.

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.