
SURABAYA (Lentera) -Suhu udara di Surabaya dan sekitarnya belakangan ini turun drastis di malam hingga pagi hari, bahkan mencapai 17 derajat Celsius. Fenomena yang dikenal masyarakat sebagai bediding ini dipicu langit cerah tanpa awan serta tiupan angin muson timur dari Australia yang tengah mengalami musim dingin.
Pakar Teknik Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), Wahid Dianbudiyanto ST MSc, menjelaskan hilangnya penutup awan selama musim kemarau menyebabkan permukaan bumi kehilangan panas lebih cepat.
“Panas bumi tidak tertahan dan langsung terlepas ke atmosfer, sehingga suhu udara turun tajam pada malam hari,” jelasnya, Rabu (16/7/2024).
Ia mengungkapkan, aliran udara dingin yang masuk ke Indonesia bagian selatan diperkuat oleh perbedaan tekanan udara antara benua Asia dan Australia. Kombinasi ini menyebabkan suhu malam hari di beberapa wilayah turun hingga di bawah 19 derajat Celsius, terutama di dataran tinggi.
Fenomena musiman ini diperkirakan berlangsung hingga September, mengikuti pola puncak musim kemarau. Meski tergolong alami, Wahid mengingatkan mbediding dapat diperburuk oleh dampak perubahan iklim global di masa mendatang.
Wahid menyebut bediding tak sekadar menimbulkan rasa tidak nyaman, tetapi juga dapat memicu berbagai masalah kesehatan.
“Suhu dingin bisa menyebabkan flu, menurunkan daya tahan tubuh, dan memperparah kondisi penderita asma,” sebutnya.
Tak hanya itu, dampak lain juga mengintai sektor pertanian dan peternakan. Udara dingin dapat mengganggu pertumbuhan tanaman serta menimbulkan stres pada hewan ternak, yang dalam kondisi ekstrem berpotensi menyebabkan kematian.
Meski belum ada laporan kerugian signifikan, Wahid menekankan pentingnya antisipasi jika fenomena ini berlangsung lebih lama dari biasanya.
Menurutnya, tidak diperlukan kebijakan khusus untuk menghadapi mbediding, namun edukasi publik tetap penting.
“Minimal, masyarakat perlu rutin memantau prakiraan cuaca, memakai pakaian hangat saat malam, dan menjaga daya tahan tubuh dengan makanan bergizi dan asupan vitamin,” imbaunya.
Fenomena ini bukanlah bencana, tapi bisa menjadi pengingat bahwa kesiapsiagaan terhadap perubahan lingkungan adalah keharusan.
“Bukan hanya tubuh yang menggigil, tapi juga daya tahan terhadap dampak lingkungan yang sedang diuji,” pungkasnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH