21 July 2025

Get In Touch

Pep Guardiola Memecah Kesunyian Gaza

Momen bersejarah saat Pep Guardiola menerima gelar doktor kehormatan berubah menjadi panggung untuk menyuarakan keprihatinannya terhadap dunia (Foto: Situs resmi Manchester City)
Momen bersejarah saat Pep Guardiola menerima gelar doktor kehormatan berubah menjadi panggung untuk menyuarakan keprihatinannya terhadap dunia (Foto: Situs resmi Manchester City)

KOLOM (Lentera) -Manajer klub sepak bola Manchester City, Pep Guardiola, menyampaikan pidato emosional yang menyoroti krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina, sesaat setelah menerima gelar doktor kehormatan dari University of Manchester pada Senin (9/6/2025).

Dalam momen yang seharusnya merayakan pencapaian kariernya, Guardiola justru menggunakan panggung tersebut untuk menyuarakan keprihatinannya terhadap penderitaan warga sipil di berbagai belahan dunia.

Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan pidato yang tak biasa bagi seorang pelatih sepak bola. 

Alih-alih berbicara tentang sepak bola, ia memilih menggunakan momen tersebut untuk menyuarakan empati terhadap korban sipil di Gaza yang terus menderita akibat konflik Israel-Palestina.

Pidato Pep Guardiola telah membuktikan satu suara dapat menggugah nurani dalam kesuunyi dunia sepak bola Eropa yang selama ini lebih memilih diam

Suaranya bukan sekadar retorika politik, melainkan juga ketulusan dan ketakutan sebagai seorang ayah yang melihat penderitaan anak-anak di tempat lain.

Selain mencerminkan keberpihakan kepada kemanusiaan, keberaniannya berbicara menjadi secercah harapan akan hadirnya moralitas dalam industri sepak bola modern.

Pep Guardiola bukan sosok asing dalam urusan politik dan prinsip. Pada 2017, ia dengan lantang menyuarakan dukungan terhadap referendum kemerdekaan Catalunya, bahkan rela membayar denda karena mengenakan pita kuning sebagai bentuk solidaritas.

Namun, pidatonya di Manchester kali ini berbeda. Ia tidak hanya berbicara atas nama ideologi atau wilayah, tetapi juga tentang rasa sakit sebagai manusia yang menyaksikan penderitaan sesama.

“Ini sangat menyakitkan apa yang kita lihat di Gaza. Itu menyakitkan seluruh tubuh saya. Biar saya perjelas–ini bukan tentang ideologi. Ini bukan tentang saya benar dan Anda salah. Ayolah, ini hanya tentang cinta kehidupan. Tentang kepedulian terhadap sesama. Mungkin kita berpikir bahwa kita dapat melihat anak laki-laki dan perempuan 4 empat tahun dibunuh dengan bom atau dibunuh di rumah sakit, yang bukan rumah sakit lagi, dan berpikir bahwa itu bukan urusan kita,” ujarnya yang disampaikan pada Senin (9/6/2025)..

Selain itu, Guardiola menyampaikan rasa takutnya sebagai ayah melihat gambar anak-anak yang tewas di Gaza seolah-olah itu bisa terjadi pada anaknya sendiri.

Empati Guardiola melampaui batas geografi, agama, dan politik. Ia menunjukkan rasa peduli tidak perlu izin untuk disuarakan.

Melalui kisah metaforis seekor burung kecil yang mencoba memadamkan api hutan dengan air di paruhnya, Guardiola mengirimkan pesan kuat bahwa tiap upaya kecil tetap bernilai dalam menghadapi ketidakadilan.

Keputusannya untuk bersuara menjadi sangat bermakna karena klubnya sendiri, Manchester City, tidak menyinggung isu Gaza dalam publikasi resmi mereka meski mereka meliput acara penghargaan tersebut.

Dengan demikian, ia telah memberi preseden moral bagi tokoh dalam sepak bola, khususnya pelatih, bisa dan seharusnya menggunakan panggung mereka untuk menyuarakan nurani.

Pidato Pep Guardiola membelah kesunyian yang terlalu lama menyelimuti sepak bola Eropa dalam menanggapi tragedi kemanusiaan.

Ia membuktikan, sosok dalam dunia sepak bola tidak harus diam atau netral ketika menyaksikan ketidakadilan.

Keberanian Guardiola membuka ruang bagi pelatih, pemain, dan tokoh sepak bola lain lain untuk bersuara tentang isu-isu besar dunia tanpa takut akan stigmatisasi atau pembalasan institusional.

Dengan keberaniannya, Guardiola telah mendobrak batasan yang selama ini mengekang dunia sepak bola.

Ia mengubah panggung formalitas menjadi mimbar moralitas. Potensi efek domino dari tindakannya tidak bisa diremehkan.

Suaranya bisa memicu gerakan kesadaran kolektif di kalangan fans, media, bahkan federasi.

Bila lebih banyak tokoh sepak bola mengikuti jejaknya, tekanan publik terhadap institusi seperti FIFA dan UEFA bisa meningkat hingga memaksa mereka untuk bertindak konsisten dan manusiawi.

Kini, giliran dunia sepak bola Eropa memutuskan untuk tetap diam atau ikut bersuara. Sebuah pengingat bahwa sepak bola dan kemanusiaan tidak dapat dipisahkan (*)

Penulis: Arifin BH, Pemimpin Redaksi L-Media

 

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.