
MADIUN (Lentera) – Para pedagang yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Pasar se-Kota Madiun melayangkan protes keras, terhadap surat peringatan (SP) yang ditempel secara massal oleh Dinas Perdagangan di kios-kios pasar.
Mereka menilai tindakan tersebut meresahkan dan tidak manusiawi, sehingga menuntut dicabutnya surat tersebut. Tuntutan itu disampaikan langsung dalam audiensi dengan Komisi 2 DPRD Kota Madiun, pada Kamis (24/7/2025).
Perwakilan pedagang datang dari sejumlah pasar tradisional yang dikelola Pemerintah Kota (Pemkot) Madiun, seperti Pasar Besar Madiun (PBM), Pasar Sleko, Pasar Srijaya (Pasar Burung Joyo), dan Pasar Logam.
“Pedagang pasar merasa tertekan dan resah. SP itu mencantumkan ancaman pencabutan kios seolah-olah kami maling,” ujar koordinator paguyuban, Subagya TA.
Menurutnya, SP diterbitkan tanpa pemberitahuan atau upaya pembinaan terlebih dahulu. Bahkan, banyak pedagang langsung menerima SP tahap tiga, yang berisi ancaman pengosongan kios.
“Ada yang sampai sakit karena stres, kami ini hanya cari makan bukan penjahat,” tegas Subagya.
Subagya menjelaskan bahwa alasan utama SP muncul, adalah tunggakan retribusi. Namun, keterlambatan pembayaran itu bukan karena niat menghindar, melainkan kondisi pasar yang lesu akibat pandemi, menurunnya daya beli dan persaingan dari penjualan daring.
“Kami bukan tidak mau bayar, tapi nominalnya terlalu berat. Saat ini retribusi kios mencapai Rp5,25 juta per tahun,” ungkapnya.
Ia membandingkan tarif tersebut dengan daerah lain, di Ngawi hanya Rp3 juta, Tulungagung Rp2,5 juta. Bahkan Pasar Klewer Solo hanya Rp1,8 juta, sementara di Jember retribusi bahkan sempat dinolkan.
“Kami minta besaran retribusi ditinjau ulang, jangan hanya pakai kacamata aturan. Lihat juga kondisi pedagang,” ujar Subagya.
Merespons tuntutan pedagang, Koordinator Komisi 2 DPRD Kota Madiun, Istono menyatakan bahwa Perda No. 9 Tahun 2023 tentang Retribusi Daerah memang sedang direvisi. Namun, secara substansi, tarif retribusi tidak mengalami perubahan.
“Dalam raperda baru memang diatur soal keringanan, pengurangan, dan pembebasan retribusi. Tapi harus diajukan secara pribadi, bukan kolektif,” jelas Istono.
Pernyataan itu memicu reaksi keras dari pedagang, mereka menyebut pengajuan keringanan selama ini tidak pernah membuahkan hasil.
“Jangan bicara prosedur saja, kenyataannya minta keringanan juga ditolak. Kalau niatnya membantu, kenapa tidak dibebaskan dulu saja sementara?” tandas Muhammad Ibrahim dari perwakilan Paguyuban Pasar Sleko.
Audiensi sempat berlangsung panas, pedagang meminta DPRD tidak hanya jadi penyambung lidah, tapi mendorong Pemkot agar mengambil langkah nyata. Mereka menilai SP justru memperkeruh suasana pasar dan berpotensi mempercepat kematian pasar tradisional.
“Kalau situasi ini dibiarkan, jangan salahkan kalau pasar kosong. SP bikin pembeli takut, pedagang apatis,” pungkas Subagya.
Reporter: Wiwiet Eko Prasetyo/Editor: Ais