02 August 2025

Get In Touch

MK Memutuskan Pemimpin Organisasi Advokat Wajib Nonaktif Jika Jadi Pejabat Negara

Hakim Konstitusi Arsul Sani
Hakim Konstitusi Arsul Sani

JAKARTA (Lentera)-Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, pemimpin organisasi advokat harus nonaktif apabila diangkat atau ditunjuk menjadi pejabat negara. Hal itu digedok oleh MK dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 183/PUU-XXII/2024, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (30/7/2025).

"Mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK, Suhartoyo, di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa norma Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang telah diputus lewat perkara nomor 91/PUU-XX/2022 bertentangan dengan UUD 1945.

"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan nonaktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara'," tutur Hakim Suhartoyo.

Pasal sebelumnya berbunyi: “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.”

Adapun permohonan itu diajukan oleh seorang advokat bernama Andri Darmawan. Dalam permohonannya, ia meminta agar pemaknaan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XX/2022 ditambahkan frasa 'dan tidak dapat merangkap sebagai pejabat negara'.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arsul Sani, menyatakan bahwa profesi advokat merupakan penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya.

Oleh karenanya, kata dia, pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat mesti diatur secara jelas dalam norma undang-undang seperti halnya penegak hukum lainnya untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan.

"Perumusan norma yang membatasi secara jelas jabatan pimpinan organisasi advokat dengan jabatan negara atau pejabat negara menjadi salah satu cara untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua anggota organisasi advokat," ucap Hakim Arsul.

Dalam permohonannya, Andri Darmawan menyebut keberlakuan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tersebut menyebabkan terjadinya ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum mengenai pembatasan terhadap pimpinan organisasi advokat yang tidak boleh merangkap sebagai pejabat negara.

Dalam permohonan itu, Andri kemudian menyinggung bahwa pimpinan organisasi advokat PERADI, Otto Hasibuan, yang ditunjuk sebagai Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan sejak tanggal 21 Oktober 2024.

Akan tetapi, kata dia, sampai saat ini Otto justru masih aktif menjabat sebagai Ketua Umum PERADI. Bahkan, posisi itu telah didudukinya selama tiga periode.

Andri menilai, dengan kondisi tersebut, pimpinan organisasi advokat yang merangkap sebagai pejabat negara berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest).

Hal itu lantaran adanya kemungkinan tidak bisa memisahkan antara kepentingan individu atau kelompok organisasinya dengan kepentingan tugas jabatannya sebagai pejabat negara. Bahkan, lanjutnya, cenderung adanya penyalahgunaan kekuasaan dengan mengabaikan putusan Mahkamah untuk kepentingan individu atau kelompok organisasinya.

Dalam pertimbangannya, MK pun mengutip putusan nomor 91/PUU-XX/2022. Dalam putusan itu, pada pokoknya MK menegaskan ihwal larangan bagi seseorang untuk menjadi pimpinan organisasi advokat melebihi dua periode masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

MK juga turut mempertimbangkan putusan nomor 80/PUU-XVII/2019, yang pada pokoknya menegaskan bahwa status jabatan wakil menteri ditempatkan sama dengan status yang diberikan kepada menteri.

"Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri seperti yang diatur dalam norma Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri," ujar Hakim Arsul.

Hakim Arsul menyebut, apabila pertimbangan hukum dalam kedua putusan MK tersebut dikaitkan dengan larangan bagi advokat yang tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 serta larangan bagi menteri dan/atau wakil menteri dalam UU Nomor 39 Tahun 2008, dan putusan nomor 80/PUU-XVII/2019, hal tersebut sesuai dengan larangan yang termaktub dalam Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 18 Tahun 2003.

Dalam aturan tersebut, menyatakan bahwa advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.

"Dengan demikian, advokat yang diangkat/ditunjuk Presiden menjadi menteri atau wakil menteri maka advokat yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas atau cuti sebagai advokat," papar Hakim Arsul.

Hakim Arsul menyatakan, dengan status advokat tidak melaksanakan tugas sebagai advokat, advokat yang menjalankan tugas sebagai pejabat negara dengan sendirinya menjadi kehilangan pijakan hukum untuk menjadi pimpinan suatu organisasi advokat.

"Maka, Mahkamah memiliki dasar yang kuat dan mendasar untuk menyatakan pimpinan organisasi advokat harus nonaktif apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara," ujar Hakim Arsul.

Lebih lanjut, Hakim Arsul pun menyatakan bahwa Mahkamah memutuskan hal tersebut untuk menghindari benturan kepentingan apabila pimpinan organisasi advokat ditunjuk sebagai pejabat negara."Termasuk jika diangkat/ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri," pungkasnya.

Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.