04 August 2025

Get In Touch

Menguak Tabir Kematian Diplomat Muda Kemlu

Meilita Firdausi Dinda Rivani
Meilita Firdausi Dinda Rivani

OPINI (Lentera) -Kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan, pada 8 Juli 2025, meninggalkan duka mendalam sekaligus pertanyaan besar yang belum terjawab. Arya ditemukan tak bernyawa di kamar indekosnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dengan kondisi kepala dilakban dan tubuh tertutup selimut. Meski telah berjalan lebih dari dua pekan, penyebab pasti kematiannya belum diumumkan secara resmi.

Penyelidikan terus berjalan, tapi publik merasa kehilangan kejelasan dan transparansi. Dugaan pun bermunculan dari kemungkinan bunuh diri, tekanan kerja, hingga spekulasi kriminalitas. Kematian Arya bukan hanya tragedi pribadi. Ia menjadi cermin persoalan yang lebih luas, bagaimana negara menangani kematian seorang pejabat publik, dan sejauh mana prinsip-prinsip Hukum Administrasi Negara (HAN) seperti legalitas, akuntabilitas, dan transparansi dijalankan dalam proses tersebut.

Penyelidikan kini berada di bawah Polda Metro Jaya. Sejumlah langkah telah dilakukan, seperti pemeriksaan CCTV yang menunjukkan Arya terakhir terlihat sekitar pukul 23.24 WIB, malam sebelum ditemukan tewas. Sidik jari pada lakban hanya milik Arya sendiri, dan tidak ditemukan tanda kekerasan fisik dalam visum luar.

Digital forensik terhadap perangkat korban masih berlangsung, begitu pula dengan hasil autopsi menyeluruh yang belum diumumkan. Namun, hasil-hasil tersebut belum dipublikasikan secara transparan, dan pihak Kemlu memilih menunggu hasil resmi, sementara DPR telah mendesak kejelasan publik.

Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, prinsip legalitas menuntut setiap tindakan pemerintah berlandaskan hukum dan prosedur. Namun, tanpa komunikasi publik yang terbuka dan akuntabel, semua itu kehilangan makna. Minimnya informasi resmi menyebabkan masyarakat lebih percaya pada spekulasi. Keterbukaan informasi seharusnya menjadi benteng pertama melawan disinformasi.

Di sisi lain, proses pelimpahan penyelidikan dari Polres ke Polda berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kehilangan informasi. Koordinasi antara Kemlu, kepolisian, dan lembaga pengawas juga tampak belum sistematis. Ketika koordinasi tidak berjalan optimal, publik melihatnya sebagai tarik menarik kepentingan, bukan pencarian keadilan.

Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk membenahi tata kelola penanganan kematian pejabat publik. Beberapa langkah strategis dapat ditempuh, seperti menyusun SOP nasional lintas lembaga, meningkatkan transparansi komunikasi investigasi, serta mereformasi birokrasi melalui digitalisasi proses penyelidikan. Tak kalah penting, penguatan koordinasi antara Kemlu, kepolisian, dan lembaga pengawas juga harus diupayakan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Kematian Arya Daru Pangayunan semestinya tidak dibiarkan sekadar menjadi misteri publik. Penanganan yang tertutup, birokrasi yang lamban, dan lemahnya koordinasi hanya akan merusak kepercayaan publik pada negara. Sudah saatnya pemerintah membenahi sistem secara menyeluruh agar keadilan benar-benar hadir, bukan sekadar jargon. Kasus ini juga menunjukkan pentingnya kehadiran negara dalam menjamin keamanan, keselamatan, dan kejelasan hukum bagi para aparatur sipil negara yang bekerja di dalam maupun luar negeri.

Aparat diplomatik seperti Arya tidak hanya mewakili negara dalam tugas, tetapi juga membawa identitas dan kehormatan bangsa dalam interaksi global. Ketika salah satu dari mereka meninggal dunia dalam kondisi tidak wajar, respons negara harus sigap, komprehensif, dan penuh kepekaan.

Sayangnya, belum tampak adanya standar khusus atau kebijakan darurat yang mengatur penanganan insiden kematian aparatur negara secara lintas sektoral. Padahal, keberadaan standar semacam ini sangat penting untuk memastikan bahwa tidak terjadi tumpang tindih atau kekosongan wewenang di tengah proses investigasi yang berjalan.Pemerintah perlu mempertimbangkan penyusunan regulasi teknis yang memayungi koordinasi Kemlu, kepolisian, dan lembaga pengawasan dalam kasus-kasus serupa.

Selain itu, peningkatan literasi publik terhadap proses hukum dan administrasi negara juga menjadi hal yang tak kalah penting. Masyarakat berhak tahu sejauh mana negara bekerja dalam menangani kasus yang menjadi perhatian luas. Kepercayaan publik hanya dapat terbangun jika pemerintah menjadikan keterbukaan sebagai prinsip utama, bukan hanya formalitas. Dalam era digital yang serba cepat ini, keterlambatan informasi justru bisa menjadi bumerang (*)

Penulis: Meilita Firdausi Dinda Rivani, Mahasiswa dan Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Perundang-Undangan dan Demokrasi FH UNESA|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.