
MALANG (Lentera) - Wacana pemekaran wilayah Kabupaten Malang belum dapat direalisasikan, karena terganjal moratorium daerah otonomi baru (DOB).
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Malang, Tomie Herawanto mengungkapkan sejumlah kompleksitas masalah yang mengiringi wacana tersebut, mulai dari keterbatasan kewenangan daerah hingga belum adanya kajian teknis terkait wilayah yang akan dimekarkan.
Tomie menjelaskan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang telah mencantumkan isu ini dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) lima tahun terakhir.
"Namun, progres sampai sekarang ini ya baru sebatas tertuang dalam dokumen perencanaan itu. Tapi tetap, kuncinya ada di moratorium. Moratorium itu masih tetap dilakukan atau tidak, itu yang menentukan," ujar Tomie, dikutip pada Rabu (6/8/2025).
Untuk diketahui, kebijakan moratorium DOB merupakan penundaan atau penghentian sementara pembentukan daerah otonomi baru. Baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang diberlakukan oleh pemerintah pusat sejak 2014.
Hingga saat ini, kebijakan tersebut belum dicabut, sehingga mengganjal realisasi rencana pemekaran wilayah di Kabupaten Malang. Menurut Tomie, selama moratorium masih diberlakukan, seluruh wacana pemekaran hanya akan menjadi bagian dari rencana tanpa tindak lanjut konkret.
"Kalaupun sudah tertuang dalam RPJPD atau RPJMD, kalau moratorium tetap dilakukan, ya artinya itu cukup dalam tanda kutip hanya menjadi perencanaan atau wacana," katanya.
Ditegaskannya, Pemkab Malang belum dapat mengambil langkah lanjutan, termasuk mengkaji wilayah yang berpotensi untuk dimekarkan, sebelum ada keputusan dari pemerintah pusat.
Saat ini, Kabupaten Malang memiliki luas wilayah sebesar 347.344 hektare, terdiri dari 33 kecamatan, 12 kelurahan, dan 378 desa. Di mana mayoritas pusat pelayanan publik juga masih terpusat di wilayah Kecamatan Kepanjen sebagai ibu kota kabupaten.
Ketika disinggung apakah Bupati dapat menggunakan diskresi untuk mendorong proses pemekaran, Tomie menegaskan hal itu tidak dimungkinkan.
"Gak bisa. Otonomi itu kan boleh atau enggaknya, ketetapan dan putusan akhir itu kan dari pemerintah pusat. Jadi tidak bisa Pak Bupati mendiskresi," tegasnya.
Lebih lanjut, Tomie juga menjelaskan, inisiatif untuk mencantumkan wacana pemekaran dalam dokumen perencanaan merupakan bentuk respons terhadap dinamika pertumbuhan wilayah dan kebutuhan pelayanan publik. Namun, Tomie menekankan, setelah moratorium dicabut pun, rencana pemekaran tidak serta-merta bisa direalisasikan.
Menurutnya, masih ada tahapan kajian publik dan evaluasi dari berbagai unsur, termasuk keterlibatan akademisi dan pakar kebijakan publik. Hasil kajian tersebut, lanjutnya, bisa saja menyimpulkan, yang menyatakan pemekaran justru belum memungkinkan dilakukan.
"Jadi belum tentu harga mati pasti pecah. Itu kan perkembangan dan dinamika yang kami wadahi," ucapnya.
Ditambahkan Tomie, proses perencanaan dalam dokumen daerah juga telah melibatkan tiga pilar, yaitu teknokratik, politis, dan partisipasi dari semua kalangan. Meski demikian, ia menegaskan segala bentuk perencanaan tersebut akan kembali bergantung pada pencabutan moratorium oleh pemerintah pusat.
"Endingnya nanti yang paling utama tetap bagaimana moratorium itu. Setelah itu pun belum tentu jadi. Harus ada kajian dan sebagainya," pungkas Tomie.
Reporter: Santi Wahyu/Editor: Ais