
SURABAYA (Lentera ) — Bantuan seragam sekolah dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya untuk siswa penerima beasiswa Pemuda Tangguh, menuai kritik dari kalangan DPRD setempat.
Komisi D DPRD Surabaya menyoroti ketidaksesuaian warna dan kualitas seragam yang justru menimbulkan rasa minder di kalangan siswa dari keluarga kurang mampu, karena tampak berbeda dari siswa lainnya di sekolah.
Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Imam Syafi’i mengungkapkan sekitar 6.000 siswa SMA sederajat dari keluarga miskin dan pra-miskin, menerima bantuan seragam ini. Namun, setelah dilakukan pengecekan, ditemukan adanya perbedaan warna seragam antara yang dibagikan Pemkot dan yang digunakan reguler di sekolah.
“Ternyata di sekolah SMA Negeri di Surabaya, ini saya menemukan, saya cek SMA 2, SMA 10, saya telepon juga ke kepala sekolah SMA 10, ternyata pramukanya tidak sama. Warnanya tidak sama,” kata Imam, Kamis (7/8/2025).
Menurutnya, perbedaan ini dapat berdampak psikologis bagi siswa. Mereka merasa berbeda dan canggung saat mengenakan seragam yang tidak sesuai dengan teman-temannya.
“Tapi anaknya kan jadi minder karena enggak sama dengan yang lain. Kan tahu sendiri anak miskin itu sensitif,” tuturnya.
Ia juga menyoroti kualitas kain seragam abu-abu bantuan yang dinilai tidak memenuhi standar. Alhasil, sebagian siswa terpaksa membeli kain dan menjahit seragam sendiri agar seragam mereka tampak seragam. “Beli kainnya Rp280.000 ongkos jahitnya Rp200.000 per set,” jelas Imam.
Meski ada sejumlah kepala sekolah dan guru yang berinisiatif membantu menjahitkan seragam yang layak bagi siswa penerima, jumlahnya sangat terbatas. Imam mencatat, hanya sekitar lima siswa per sekolah yang mendapat bantuan tambahan semacam itu.
“Untungnya ada beberapa di sekolah negeri di Surabaya itu memperlakukan anak asuh. Tapi ya kira-kira lima siswa lah,” tambahnya.
Untuk itu, pihaknya meminta Pemkot agar lebih teliti dalam merancang program bantuan seragam agar benar-benar sesuai kebutuhan siswa. Ia mengingatkan bahwa program tersebut menggunakan dana APBD, sehingga harus dipastikan tidak mubazir.
“Ya, harusnya cermat sebelum membagi seragam. Lihat dulu seragamnya itu seragam pramuka yang warnanya seperti apa, abu-abunya yang seperti apa,” ucapnya.
Ia juga menyayangkan jika bantuan justru tidak bisa digunakan karena tidak sesuai. Menurutnya, kondisi ini justru dapat memperkuat stigma kemiskinan di lingkungan sekolah. “Ini kan dibelikan dengan uang APBD ya. Ternyata kemudian enggak kepakai, mubazir,” tambahnya.
Imam juga menyinggung efisiensi anggaran di tengah kondisi keuangan Pemkot yang sedang dalam tekanan akibat utang sebesar Rp452 miliar. Ia menilai pentingnya pengawasan agar program bantuan berjalan tepat sasaran dan tidak menimbulkan masalah baru.
“Ya hutangnya ya memang bukan untuk seragam, untuk yang lainnya. Tapi kan ironis ya iki dibelani hutang untuk nambal belanja ya,” tuturnya.
Sebagai solusi, Imam mendorong Pemkot untuk melakukan standardisasi warna dan kualitas kain seragam bantuan agar setara dengan seragam reguler. Dengan begitu, siswa penerima bantuan tidak lagi merasa terpinggirkan.
“Makanya ayo distandarkan ya kita tentu kalau mau membantu anak orang-orang miskin yang terbaik lah. Jangan pokoknya yang penting kita bantu tapi kemudian kok lebih jelek kainnya dengan teman-temannya,” pungkasnya.
Sementara itu, Pihak Pemkot Surabaya melalui Kepala Bapemkesra, Arief Boediarto ketika coba dikonfirmasi melalui pesan Whatsapp maupun sambulan telepon belum merespon dan memberikan jawaban.
Reporter: Amanah/Editor: Ais