
Oleh Dr Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy SE MM*
DALAM kemegahan Jakarta yang semakin metropolis, masih tercium aroma nasi uduk di pagi hari, terdengar lantunan lenong di sudut-sudut kota tua, dan terasa kehangatan sapaan “ape kabar, bang?”. Itulah Betawi etnik yang mewakili denyut nadi asli ibu kota. Namun, Betawi bukan hanya cerita budaya atau pakaian adat saat festival. Di balik tutur sapa yang renyah dan selera humor yang khas, tersimpan nilai-nilai etika bisnis yang kaya dan relevan untuk dunia usaha hari ini.
Artikel ini mengajak kita menyelami semangat ekonomi etnik Betawi: dari warung ke warung, dari pasar ke pasar, dari nilai ke nilai. Di era di mana bisnis sering dibutakan oleh kompetisi dan kapitalisme semu, etika Betawi justru menawarkan pendekatan yang membumi: jujur, lugas, dan penuh silaturahmi.
Etika bisnis Nusantara tak lengkap bila tak membahas kontribusi Betawi dalam membangun ekosistem ekonomi berbasis kepercayaan dan keberkahan.
Karakter Etnik Betawi dalam Konteks Ekonomi
Masyarakat Betawi dikenal dengan kepribadiannya yang ramah, ceplas-ceplos, dan penuh tawa. Tapi di balik gaya hidup yang terkesan santai itu, tersimpan filosofi hidup yang rapi, konsisten, dan bersandar pada prinsip “yang penting halal, yang penting barokah”. Dalam konteks ekonomi, karakter ini membentuk perilaku bisnis yang khas—tidak neko-neko, tidak ngoyo, tapi tetap ngotot kalau soal kejujuran dan tanggung jawab.
1. Sifat Egaliter dan Terbuka
Betawi tidak mengenal kasta. Di pasar, pedagang dan pembeli bisa bercanda seperti teman lama. Spirit ini membuat etnis Betawi cenderung inklusif dan terbuka terhadap pendatang, bahkan dalam dunia usaha. Tidak heran jika banyak UMKM atau usaha kuliner Betawi tumbuh justru di wilayah perbatasan seperti Condet, Depok, hingga Bekasi karena semangat usaha mereka tidak dibatasi sekat sosial.
“Lu dagang, gua dagang, asal sama-sama nggak main curang, kita temenan.” prinsip yang tidak tertulis, tapi hidup dalam keseharian ekonomi Betawi.
2. Pola Hidup Bersahaja dan Gotong Royong
Orang Betawi cenderung tidak pamer. Mereka lebih suka menjalani hidup apa adanya. Dalam usaha pun, mereka lebih mengutamakan keberkahan daripada keuntungan yang mewah. Misalnya, banyak pengusaha kecil Betawi yang tetap tinggal di rumah sederhana meskipun usahanya sukses karena “duit banyak mah enak, tapi hati adem lebih enak”.
Prinsip gotong royong juga masih kental. Saat ada yang buka usaha baru, tetangga sekitar datang bantu. Ibu-ibu bikin nasi uduk buat syukuran, bapak-bapak bantu beresin gerobak atau lapak. Semua ini tanpa dibayar. Karena usaha satu orang, dianggap berkah buat satu kampung.
3. Peran Historis dalam Perdagangan Batavia
Sejak zaman kolonial, masyarakat Betawi sudah menjadi bagian dari denyut ekonomi Batavia—baik sebagai pedagang pasar, nelayan, pengrajin, hingga pengusaha kecil di pelabuhan Sunda Kelapa. Merekalah yang menjaga stabilitas ekonomi lokal sambil tetap mempertahankan jati diri. Etos berdagang ala Betawi tidak banyak berubah dari masa ke masa: “jualan boleh, tapi jangan sampe ngerugiin orang.”
Catatan Riset:
• Di Pasar Tanah Abang dan Jatinegara, masih banyak ditemui generasi ketiga atau keempat dari keluarga Betawi yang meneruskan usaha kakek-nenek mereka.
• Menurut riset Universitas Islam Jakarta (2021), UMKM milik warga Betawi cenderung mempertahankan model usaha keluarga dan menjaga relasi pelanggan dengan pendekatan personal, bukan korporat.
Prinsip Etika Bisnis Betawi: “Urusan Dunia Jangan Lupa Akhirat”
Etika bisnis dalam masyarakat Betawi tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh dari akar nilai Islam yang kuat, rasa kemanusiaan, serta budaya kampung yang akrab dan egaliter. Prinsip utamanya sederhana tapi dalam maknanya: “yang penting halal, bermanfaat, dan nggak bikin orang susah.”
1. Kejujuran adalah Modal Utama
Dalam masyarakat Betawi, pedagang yang curang itu gak laku. Sekali ketahuan ngoplos atau naikin harga semaunya, nama bisa rusak seumur hidup. Sebaliknya, yang jujur, meski dagang kecil, biasanya dipercaya banyak orang.
“Ngapain tipu-tipu? Duit cepet ilang, tapi dosa numpuk.”
— Kalimat khas yang sering terdengar di lapak-lapak tradisional Betawi.
2. Rejeki Jangan Dipatok, Tapi Diikhtiarkan
Masyarakat Betawi tidak ngoyo soal target. Mereka percaya bahwa rezeki sudah ada yang ngatur, asal usaha dan doa jalan bareng. Inilah yang membuat banyak pengusaha Betawi terlihat tenang meski usahanya pas-pasan.
Contohnya bisa dilihat di banyak tukang kerak telor, tukang es selendang mayang, sampai pedagang warteg. Mereka buka lapak jam 5 pagi, tutup jam 2 siang, lalu sorenya ngaji di musholla. Prinsipnya:
“Kalo rejeki kita hari ini 100 ribu, ya itu cukup. Sisanya buat orang lain yang juga lagi nyari makan.”
3. Hubungan Dagang = Silaturahmi
Di Betawi, pelanggan bukan cuma ‘customer’, tapi juga ‘kawan’. Relasi ini dibangun dengan komunikasi yang cair, sering guyon, dan tidak kaku. Misalnya, banyak pedagang di pasar tradisional yang tahu nama anak-anak pelanggannya, hafal langganan ibu-ibu kredit sayur, sampai ingat siapa yang pernah ngutang minggu lalu— dan tetap disapa dengan senyum.
“Gua dagang bukan buat kaya, tapi buat kenal lebih banyak orang.” Sebuah nilai yang sekarang mulai langka di dunia retail modern.
4. Menjaga Nama Baik sebagai Warisan
Etika Betawi juga menjunjung tinggi nama baik keluarga. Dalam bisnis, membawa nama orang tua atau kakek adalah tanggung jawab moral. Itulah kenapa banyak UMKM Betawi diberi nama “Warung Mpok Neneng”, “Es Bang Ben”, atau “Kerak Telor
H. Samin”. Nama itu bukan sekadar branding, tapi janji kualitas.
“Jangan sampe nama almarhum bapak lu tercoreng cuma gara-gara lu main tipu di lapak.” Wejangan yang biasa didengar anak muda Betawi yang mulai buka usaha.
Tradisi Usaha Keluarga dan Pasar Tradisional: Dapur, Lapak, dan Perempuan Betawi
Etika bisnis Betawi bukan hanya milik individu, tapi warisan kolektif yang mengakar kuat di lingkungan keluarga. Banyak pelaku usaha Betawi memulai bisnisnya bukan dari modal besar atau teori manajemen rumit, melainkan dari dapur rumah dan
silaturahmi pasar. Tradisi ini bertahan dari generasi ke generasi—meskipun jarang terdokumentasi, namun hidup dan lestari.
1. UMKM Rumah Tangga sebagai Pilar Ekonomi
Di banyak kawasan Betawi seperti Condet, Kramat Jati, hingga Kebon Pala, kamu akan temui usaha seperti pembuatan dodol, kue rangi, nasi uduk, sampai gendar pecel yang dikelola dari rumah. Biasanya, ibu yang masak, anak yang bantu bungkus, dan suami yang antar pesanan. Itulah “sistem ERP” versi Betawi: Effort Ramai-ramai Profesional.
Yang menarik, skema pembagian kerja ini tidak dibuat formal, tapi berjalan berdasarkan kepercayaan. Keuangan rumah tangga dan usaha menjadi satu denyut yang tak terpisahkan. Keberhasilan usaha pun menjadi kehormatan bagi keluarga.
2. Perempuan Betawi: Manajer Dapur, Negosiator Lapak
Perempuan Betawi punya peran penting dalam dunia usaha. Jangan bayangkan hanya di belakang layar. Justru banyak dari mereka yang pegang kendali: dari mengatur bahan baku, menentukan harga jual, sampai bernegosiasi dengan pembeli. Sosok seperti Mpok Tati, pedagang sayur keliling di Jatinegara, dikenal bukan cuma karena sayurnya segar, tapi karena kejujurannya dan cara tawarnya yang ikonik:
“Mau murah? Nih gua kasih, asal jangan nawar sambil ngedumel. Rejeki itu harus ceria!”
Etika bisnis perempuan Betawi ini jadi fondasi etika ekonomi keluarga: tidak hanya urusan untung, tapi juga menjaga relasi sosial dan marwah keluarga.
3. Pasar Tradisional: Universitas Bisnis ala Betawi
Pasar bagi orang Betawi bukan cuma tempat jualan, tapi tempat belajar—tentang cara bersikap, menyapa, menakar untung, dan menyiasati cuaca. Generasi muda Betawi dulu belajar bisnis bukan lewat seminar, tapi dari menemani orang tuanya jualan sejak kecil. Dari sana mereka belajar:
• Cara menjaga loyalitas pelanggan (“Bu, biasa ya, dua plastik tambah bonus cabe rawit dikit.”)
• Strategi diskon ala Betawi (“Beli dua, dapet senyum gua gratis.”)
• Etika dalam kompetisi (“Lapak sebelah jualan juga? Bagus. Rejeki mah tinggal bagi arah angin.”)
Pasar bukan ruang kompetisi brutal, tapi arena kolaborasi. Ketika salah satu pedagang gak buka karena sakit, yang lain sering iuran buat bantu. Saat Ramadan, pedagang biasanya “kompak kompakin harga” supaya semua bisa jualan dengan adil.
Contoh nyata (opsional):
Di Pasar Kramat Jati, tercatat lebih dari 150 pelapak berasal dari keluarga Betawi lintas generasi, dan 67% dari mereka tetap menggunakan sistem usaha berbasis keluarga (data riset lokal, 2022). Salah satu yang legendaris: Warung Dodol Hj. Saripah yang tetap bertahan selama 40 tahun dengan resep turun-temurun tanpa pernah alih tangan ke luar keluarga.
Contoh UMKM Betawi Kekinian: Si Pitung Coffee & Culture
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta Selatan yang makin hipster, ada sebuah kafe kecil bernama Si Pitung Coffee & Culture. Dari luar, bangunannya sederhana seperti rumah Betawi tempo dulu: ada lisplang, jendela besar, dan pagar kayu. Tapi dalamnya? Perpaduan sempurna antara heritage dan gaya hidup milenial.
Yang dijual bukan cuma kopi—tapi identitas Betawi. Menunya khas: es selendang mayang latte, kopi jahe abang none, roti buaya isi srikaya, dan dodol betawi finger food. Desain interiornya penuh ornamen budaya: topi panama, rebana, dan mural tokoh Betawi terkenal. Setiap meja punya QR code berisi cerita etika bisnis Betawi.
Pendiri bisnis ini, Bang Nara & Mpok Anin, adalah pasangan muda Betawi yang sempat kerja kantoran di dunia perbankan. Mereka resign, lalu balik ke kampung orang tua di Srengseng Sawah, buat memulai bisnis yang bukan hanya “cari cuan”, tapi juga menghidupkan memori kolektif.
“Kita pengen anak-anak Jakarta tau: jadi Betawi itu bukan kuno, tapi keren. Ngopi boleh gaya, tapi nilai-nilai leluhur jangan dilupa.”
UMKM ini sekarang jadi tempat tongkrongan mahasiswa, komunitas budaya, bahkan jadi titik awal walking tour sejarah Betawi.
Intermezzo: Kisah H. Dulloh, Si Pedagang Kopi Jujur Tanah Abang
Di sebuah gang kecil dekat Tanah Abang, ada warung kopi legendaris yang tak pernah sepi sejak tahun 1970-an. Pemiliknya, Haji Dulloh, dikenal bukan karena kopinya yang luar biasa enak (meskipun itu juga), tapi karena satu hal: kejujurannya.
Dulu, waktu harga kopi naik, dia tetap jual segelas kopi seharga Rp500 perak. Kata dia,
“Biar rejeki gua nggak banyak, tapi yang penting pembeli tetap bisa ngopi. Itu namanya dagang berkah.”
Haji Dulloh juga dikenal tak pernah memaksa pelanggan bayar. Pernah suatu waktu, ada supir bajaj yang cuma punya uang receh dan belum makan. Haji Dulloh tetap kasih kopi dan sepiring gorengan.
“Kalau ente lapar, itu urusan gua juga. Tuhan pasti balikin dari jalan lain.”
Yang menarik, usaha beliau malah makin besar. Dari satu meja jadi tiga, dari satu gerobak jadi warung kecil, dari warung kecil jadi usaha rumahan yang sekarang diteruskan oleh anak cucunya. Nama “Warung Haji Dulloh” tetap hidup, dan banyak pelanggan yang sudah jadi “keluarga” bisnisnya.
Kisah ini bisa jadi contoh nyata bagaimana etika Betawi tidak hanya berbentuk jargon, tapi hidup dalam praktik. Di tengah arus kapitalisme, tokoh seperti Haji Dulloh mengajarkan bahwa bisnis bisa maju tanpa meninggalkan nilai kemanusiaan dan kearifan lokal.
Tantangan di Era Modern: Antara Gentrifikasi dan Regenerasi
Masyarakat Betawi hari ini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan cepat ibu kota. Modernisasi yang terjadi justru seringkali menggerus akar budaya ekonomi Betawi, bukan membawanya naik kelas.
1. Gentrifikasi Jakarta dan Tergusurnya Identitas
Banyak wilayah yang dulunya kampung Betawi kini berubah menjadi kompleks apartemen atau pusat perbelanjaan. Warga lokal terpinggirkan, lapak tradisional hilang, dan gaya hidup konsumtif mendominasi.
Contoh nyata: Kawasan Kampung Melayu, Tanah Abang, dan Kalibata—dulu dikenal sebagai sentra usaha kecil Betawi, kini penuh gedung tinggi dan makanan franchise internasional.
Ini bukan hanya penggusuran fisik, tapi juga pengikisan nilai: tempat ngopi warung jadi coffee shop dengan harga Rp60.000 tanpa budaya silaturahmi yang sama.
2. Minimnya Regenerasi Pelaku Usaha Betawi
Anak muda Betawi hari ini banyak yang enggan meneruskan usaha orang tuanya. Sebagian malu disebut “dagang kerak telor” atau “jualan dodol”, karena tidak dianggap keren di era startup dan fintech. Padahal, justru usaha inilah yang menopang ekonomi keluarga mereka selama puluhan tahun.
“Banyak anak muda Betawi yang lebih kenal Starbucks daripada tahu cara bikin selendang mayang.” - Keluh seorang tokoh masyarakat di Srengseng.
3. Persaingan Ekonomi yang Tak Lagi Adil
Banyak UMKM Betawi kesulitan bersaing dengan pemain besar. Mereka kalah di promosi, packaging, dan digitalisasi. Beberapa di antaranya bahkan tak punya akses e- wallet atau skill pemasaran daring. Meski produknya autentik dan enak, tapi mereka kalah di tampilan dan algoritma.
VI. Peluang: Revitalisasi Etika Bisnis Betawi untuk UMKM Masa Kini
Meski tantangan modern menggempur, etika bisnis Betawi tidak lantas jadi usang. Justru, nilai-nilai kejujuran, kebersahajaan, dan kekeluargaan yang dipegang teguh oleh masyarakat Betawi bisa jadi antitesis dari wajah kapitalisme yang dingin. Di sinilah peluang muncul: mengangkat kembali etika Betawi dalam kemasan baru yang relevan untuk generasi sekarang.
1. Sekolah Bisnis Berbasis Budaya Lokal
Bayangkan ada inkubator UMKM bertema “Dagang Ala Betawi”: bukan cuma belajar jualan online, tapi juga membangun trust, menjaga relasi pelanggan, dan menyampaikan nilai dalam setiap produk. Di dalamnya ada workshop membuat selendang mayang, kelas storytelling ala lenong, hingga pelatihan branding kearifan lokal.
Membangun bisnis tidak cukup dengan strategi, tapi juga perlu etika. Dan Betawi punya itu semua.
2. Kolaborasi Komunitas Budaya + Digitalisasi
Komunitas Betawi bisa bersinergi dengan content creator muda untuk menciptakan produk-produk baru yang tetap autentik tapi juga “Instagrammable”. Misalnya:
- Dodol Betawi dikemas dalam kaleng retro vintage.
- Kopi Betawi dijual dalam botol dengan QR code berisi cerita pendek “Ngopi Bareng Bang Pitung”.
- Batik Betawi untuk streetwear ala jaket varsity dengan bordiran ondel-ondel.
Anak muda Betawi bisa jadi brand ambassador produk kampungnya sendiri. Dengan gaya bahasa anak Jaksel sekalipun, asalkan nilainya tetap “asli Betawi”.
3. Contoh Sukses: Merek Betawi Naik Kelas
• Nasi Uduk Mpok Lilis yang dulunya gerobakan, kini punya 4 cabang di mall dan dijual di GrabFood dengan label premium “Rasa Asli Tanah Abang”.
• Ondel-Ondel Studio, UMKM merchandise Betawi yang sukses ekspor topeng mini ke Malaysia dan Belanda.
• Kopi Kampung Melayu, warung kopi yang mengintegrasikan QRIS, WiFi, live lenong, dan open mic Betawi setiap Jumat malam.
Keberhasilan mereka membuktikan: warisan budaya bisa naik kelas kalau dikemas dengan cinta dan strategi.
Catatan Penting:
Revitalisasi etika bisnis Betawi bukan sekadar soal menjaga warisan, tapi juga membuka jalan ekonomi yang lebih manusiawi, guyub, dan berkelanjutan di tengah dunia usaha yang makin algoritmik dan impersonal.
Penutup: Spirit Betawi sebagai Soft Power Ekonomi Nusantara
Betawi bukan sekadar etnik ia adalah cara pandang, gaya hidup, dan nilai-nilai yang membentuk wajah khas dari ibu kota Nusantara. Dalam hiruk-pikuk dunia bisnis hari ini, spirit ekonomi Betawi menawarkan pendekatan yang menyegarkan: berdagang dengan hati, menjaga nama baik, membangun relasi lewat silaturahmi, dan menempatkan kejujuran di atas segalanya.
Etika bisnis Betawi, meski lahir dari kampung-kampung kecil Jakarta, menyimpan potensi besar sebagai soft power ekonomi Indonesia. Di saat banyak model bisnis modern mengedepankan efisiensi dan teknologi, Betawi mengingatkan kita akan pentingnya kehangatan, kepercayaan, dan keberkahan.
“Lu boleh punya sistem paling canggih, tapi kalo pelanggan lu nggak ngerasa dihargai, itu bukan dagang namanya.”
Melalui pelestarian UMKM Betawi, edukasi etika lokal, dan kolaborasi lintas generasi, kita bisa membuktikan bahwa warisan budaya tidak harus tinggal di museum. Ia bisa hidup, berkembang, dan menjadi landasan masa depan.
Di tangan anak muda yang melek digital dan cinta akar budayanya, etika bisnis Betawi bisa bersinar kembali bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai inspirasi ekonomi masa depan.
Yuk, ikut merawat nilai-nilai ekonomi Betawi!
Ceritakan di kolom komentar: warung Betawi mana yang paling berkesan buat kamu? Dan nantikan seri lanjutan Etika Bisnis Nusantara, kita akan lanjut ke inspirasi etnik lainnya—karena negeri ini, adalah rumah bagi ribuan nilai dan cara hidup yang saling menguatkan.
*Penulis sebagai Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Praktisi Keuangan, Penggerak Literasi Ekonomi UMKM
Budaya