
OPINI (Lentera) -Jeritan rakyat terhadap PBB viral. Bukan dari Mabesnya di New York, Jenewa,Wina atau Nairobi. Jangan kaget, justru dari Pati, Jawa Tengah. Jeritan dalam video ini bukan bercerita soal lemahnya peran PBB merespon kekejaman zionis Israel pada bangsa Palestina. Melainkan soal kenaikan PBB yang mencekik leher wong cilik.
Pemda tiba2 saja menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara luar biasa. Wuttt ....sekali naik 250%. Bukan main. Alasan Bupati Sudewo, kenaikan sebesar itu karena selama 14 tahun PBB tak pernah naik. Rakyat gelisah. Rakyat marah. Mereka berdemo. Mereka tak sungkan lagi pada pejabatnya. Dalam video, tampak
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah setempat ditantang duel. Mereka memaki-maki. Pejabat dianggap tak peduli dengan penderitaan rakyat.
"Kamu itu dibayar rakyat," kata pendemo sambil menuding-nuding Riyoso, Plt Sekda Pati.
Mereka mengancam, jika PBB tak diturunkan. Akan berdemo dengan masa lebih besar lagi.
Alih-alih meredam kemarahan rakyat. Bupati malah balik menantang.
Meski pun didemo 50.000 orang, PBB tak akan diturunkan. Pendemo berjanji akan datang lagi dalam jumlah lebih besar pada 13 Agustus 2025.
Wah....makin seru nih. Sambutan masyarakat terhadap demo ini cukup besar. Dukungan spontanitas masyarakat.
Dalam waktu relatif singkat terkumpul bertumpuk-tumpuk air mineral di Alun-alun Kabupaten Pati.
Kota Pati sering disebut Kota Pensiunan. Seperti orang yang sudah pensiun, hidupnya santai. Masyarakatnya dikenal "adem ayem". Kini mereka terusik.
Dua keresahan sekaligus muncul. Ya, besarnya kenaikan PBB. Ya ramainya yang berdemo.
Uang yang dihimpun dari PBB itu sejatinya digunakan untuk biaya pembangunan daerah. Tetapi juga untuk biaya penyelenggaraan pemerintah daerah.
Penarikan PBB diatur dalam Undang-undang no.12 Tahun 1985. Kemudian diubah dengan UU nomer 12 Tahun 1994. Jadi tidak sembarang pungut. Ada dasarnya. Seberapa besar bilangannya, tentu telah melalui proses. Tentu telah dibicarakan dengan legislatif dan stakeholders lainnya.
Proses itu telah dilalui, dan ketemu angka 250 persen! Angka itu benar-benar spektakuler.
Tetapi momen itu tak tepat. Ekonomi negeri ini sedang tak baik-baik baik saja. Bayangkan. Daya beli masyarakat sedang di titik rendah. Harga barang kebutuhan sehari-hari hari melonjak drastis. PHK terjadi di mana-mana. Nyari duit bukan main sulitnya.
Dalam kondisi begini. Kok PBB ikut-ikutan naik.Angkanya luar biasa lagi.
Tak Hanya di Pati
Sebenarnya melejitnya kenaikan PBB tak hanya terjadi di Pati. Daerah-daerah lain pun melakukan hal yang sama.
Tengoklah seperti Kabupaten Kendal. Kabupaten yang berbatasan dengan Kota Semarang ini juga menaikkan PBB cukup tinggi.
Nardi (nama disamarkan). Dia punya sawah seluas 2.800 m2. Selama delapan tahun terakhir, merasa berat bayar PBB.Ia mengaku, selama delapan tahun terakhir, PBB nya melejit.
Tahun 2017, masih kena pajak Rp 232.000. Tahun 2025 ini melambung jadi Rp 667.000. Kenaikannya 280 persen!. Toh masyarakat luas di Kendal tenang-tenang saja. Tak ada demo.
Bedanya dengan Pati. Kenaikan PBB di Kendal tidak langsung dalam sekali tagihan. Satu tahun naik. Dua tahun tidak naik. Tiga tahun naik lagi. Jadi ada jeda.
Mungkin yang terjadi di Pati. Selama 14 tahun tidak ada kenaikan. Tiba-tiba naik 250 persen. Siapa yang tak kaget?
Jika benar begitu, jelas managemen Pemda Pati kurang bagus. Tak berpikir lebih jauh, tentang dampak yang akan terjadi. Pemda Pati harus gentleman.
Kalau memang kekhilafan berada di pihaknya. Pemda dan DPRD harus minta maaf. Harus ada solusi yang meringankan masyarakat. (*).
Penulis: Subakti Sidik, Wartawan Senior PWI|Editor: Arifin BH