
KOLOM (Lentera) -Selama setengah hari pada Minggu (10/8/2025) setidaknya saya lima kali melakukan editing berita terkini kondisi di Gaza, Palestina.
Pertama: Ribuan Orang di Istanbul Berunjuk Rasa Kecam Tindakan Israel di Gaza
Ribuan warga Turki berunjuk rasa di Istanbul pada Sabtu (9/8/2025), mengecam serangan dan blokade Israel di Gaza.
Diselenggarakan oleh 15 organisasi masyarakat sipil di bawah "Platform Dukungan untuk Palestina" (Support for Palestine Platform), aksi unjuk rasa bertajuk "Jadilah Harapan bagi Gaza" (Be Hope for Gaza) mengumpulkan para peserta di Lapangan Beyazit setelah salat Magrib, sebelum berbaris menuju Masjid Hagia Sophia yang ikonis.
Mereka meneriakkan slogan-slogan seperti "Pembunuh Israel, keluar dari Palestina," membawa bendera Palestina, dan memegang berbagai spanduk yang menuduh Israel telah menyebabkan kelaparan di Gaza dan menuntut pertanggungjawaban.
Secara terpisah, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menggelar pembicaraan via telepon dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang dalam kesempatan itu Erdogan mengutuk keputusan Israel untuk menjadikan Gaza di bawah kendali militer penuh sebagai hal yang "sama sekali tidak dapat diterima."
Menurut sebuah pernyataan dari Kantor Kepresidenan Turki, Erdogan menegaskan kembali upaya diplomatik Turki yang terus berlanjut untuk gencatan senjata dan dukungannya terhadap Palestina, menyambut baik seruan negara-negara Eropa yang semakin meningkat untuk kenegaraan Palestina, dan menyebut meningkatnya kritik terhadap Israel di Barat.
Kedua: Inggris Tambah Alokasi Bantuan Dana Rp185 Miliar untuk Gaza
Pemerintah Inggris mengumumkan tambahan bantuan kemanusiaan untuk Gaza sekaligus mendesak Israel untuk membuka jalur pasokan dan membatalkan rencana operasi militer besar-besaran ke wilayah tersebut.
Melansir Bloomberg pada Minggu (10/8/2025), Kementerian Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan Inggris menyatakan telah mengalokasikan tambahan dana sebesar 8,5 juta poundsterling atau sekitar Rp185 miliar untuk dana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digunakan untuk menyalurkan bantuan seperti pangan dan air bagi warga Palestina.
“Krisis kemanusiaan di Gaza masih berlangsung dan kami mendesak Israel untuk membatalkan keputusan memperluas operasi militer,” ujar Menteri Pembangunan Internasional Inggris Jenny Chapman dalam keterangan resmi.
Chapman menyebut banyaknya bantuan tertahan di perbatasan sebagai hal yang tidak dapat diterima. Dia menambahkan, Inggris siap menyalurkan lebih banyak bantuan melalui mitra-mitranya. Inggris juga menuntut Pemerintah Israel untuk mengizinkan bantuan masuk dengan aman.
Dana tambahan yang dijanjikan Inggris itu merupakan bagian dari anggaran bantuan luar negeri sebesar £101 juta yang dialokasikan untuk wilayah Palestina yang diduduki pada tahun anggaran berjalan.
Ketiga: Krisis Kemanusiaan Kian Parah Jika Israel Kuasai Gaza
Rencana Israel untuk memperluas operasi militernya di Jalur Gaza akan memperburuk situasi di wilayah kantong Palestina itu dan berdampak serius bagi seluruh kawasan Timur Tengah, pemerintah Rusia memperingatkan pada Sabtu (9/8/2025).
Peringatan itu disampaikan setelah pada Kamis, pemimpin Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan rencana untuk menguasai seluruh Jalur Gaza guna membentuk perimeter keamanan, sebelum menyerahkannya kepada "pemerintahan sipil" yang baru.
Sehari kemudian, kantor Netanyahu menyatakan bahwa kabinet keamanan Israel telah menyetujui usulannya untuk menumpas Hamas dan merebut kendali atas Kota Gaza.
"Pelaksanaan keputusan dan rencana semacam itu, yang memicu kecaman dan penolakan, berisiko memperparah situasi yang sudah sangat dramatis di wilayah Palestina itu, yang menunjukkan semua tanda-tanda bencana kemanusiaan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova
Keempat: Warga Israel Unjuk Rasa, Kecam Rencana Pendudukan Kembali Gaza
Puluhan ribu demonstran Israel memblokade jalan-jalan pusat kota Tel Aviv, menuntut kesepakatan pertukaran tahanan dengan faksi-faksi Palestina, serta menyuarakan penolakan terhadap keputusan terbaru pemerintah untuk menduduki kembali Jalur Gaza.
Kanal 12 Israel melaporkan ada sekitar 60.000 pengunjuk rasa berkumpul di Hostage Square, Tel Aviv, Sabtu malam (9/8/2025) waktu setempat dan menutup sejumlah ruas jalan di pusat kota sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Kepala Otoritas Israel Benjamin Netanyahu.
Demonstrasi anti-pemerintah di Israel terus meningkat sejak Netanyahu menyetujui rencana pendudukan penuh atas Jalur Gaza, kebijakan yang menurut keluarga para sandera Israel dan kalangan militer justru membahayakan keselamatan para tawanan dan menguras sumber daya militer.
“Keputusan Netanyahu terkait Gaza bertentangan dengan pendapat Kepala Staf IDF (Eyal Zamir) dan mengorbankan anak-anak kami,” ucap mereka mengingatkan sambil menegaskan bahwa tindakan pemerintah “tidak sejalan dengan kepentingan negara maupun rakyat.”
Kelima: Legenda Sepak Bola Palestina Tewas Ditembak Pasukan Israel di Pusat Distribusi Bantuan
Suleiman Al-Obeid, yang dikenal sebagai “Pelé Palestina”, menjadi salah satu korban tewas dalam serangan Israel terbaru terhadap warga Gaza yang tengah mencari bantuan.
Melansir The Independent, pemain sepak bola berusia 41 tahun ini ditembak mati oleh pasukan Israel saat berada dekat pusat distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza Selatan, seperti dikutip dari Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA).
Al-Obeid tewas meninggalkan seorang istri dan lima anak.
Al-Obeid salah satu bintang sepak bola Palestina berkat kemampuannya mencetak lebih dari 100 gol dalam kariernya, yang berlangsung hampir satu setengah dekade.
Sebelum kematiannya, ia merupakan anggota tim nasional Palestina dan pemain untuk klub Khadamat Al-Shatea.
PFA menyebutnya sebagai salah satu gelandang serang berbakat yang memimpin Liga Gaza Strip dan memberinya julukan "Pelé Palestina", merujuk pada pemain sepak bola legendaris Brasil.
Dengan kematian Al-Obeid, total atlet dan anggota keluarga PFA yang tewas sejak perang dimulai pada Oktober 2023 mencapai 662 orang, dengan 321 di antaranya merupakan pemain, pelatih, wasit, dan administrator.
Pasukan Israel dilaporkan telah membunuh lebih dari 1.300 warga Palestina di pusat distribusi bantuan yang dijalankan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF).
Memahami bantuan krisis
Bencana yang terjadi di Gaza tidak bisa dipahami hanya sebagai krisis kelaparan. Apa yang kita saksikan hari ini bukan sekadar dampak tragis dari perang, tetapi penggunaan kelaparan yang dirancang untuk menghancurkan masyarakat Palestina secara sistematis -bentuk nyata dari genosida struktural.
Menurut laporan berbagai lembaga internasional independen, lebih dari 95 persen lahan pertanian di Gaza telah dihancurkan atau tidak lagi bisa digunakan.
Bukan sekadar kerugian ekonomi, ini adalah penghancuran terencana atas kedaulatan pangan, dan bersamanya, harapan rakyat Palestina akan masa depan yang merdeka.
Beberapa hari yang lalu, saya membaca postingan di WhatsApps Grup (WAG). Begini isinya: Ribuan ton beras dari Indonesia dikirim ke Palestina. Sementara warga di wilayah timur Indonesia menderita “kelaparan”.
Pembuat status di WAG itu menurut saya bukan hanya salah: tetapi salah besar!
Membandingkan krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina dengan situasi di wilayah timur Indonesia kurang tepat -kalau enggan disebut tidak masuk akal.
Menurut saya ada banyak yang menurut saya kurang dipahami - dan ini harus dimengerti
Membantu beras merupakan misi kemanusiaan. Sedangkan memberi makanan kepada saudara di wilayah timur Indonesia sudah terlayani oleh komunitas setempat. Tidak terlalu lama. Saat itu juga.
Membela Palestina bukan sekadar isu kemanusiaan, melainkan panggilan keimanan.
Kepedulian terhadap Palestina mencerminkan komitmen untuk membela nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang diajarkan dalam Islam:
- Kiblat pertama umat Islam
- Palestina negeri para Nabi
- Nabi Ibrahim hijrah ke Palestina setelah diusir kaumnya dari Irak
- Nabi Daud membangun Mihrabnya di Palestina
- Nabi Isa lahir di Bumi Palestina
- Nabi Luth diselamatkan Allah dari kaumnya dalam perjalanan ke Palestina
Arifin BH, Pemimpin Redaksi Lentera Media