
TEL AVIV (Lentera) - Enam sumber yang mengetahui masalah ini mengonfirmasi bahwa Israel tengah membahas kemungkinan memindahkan warga Palestina dari Jalur Gaza ke Sudan Selatan.
Dikutip dari AP, Rabu (13/8/2025), masih belum diketahui sejauh mana pembicaraan itu berlangsung. Namun jika diimplementasikan, sama saja dengan memindahkan warga Gaza ke negara yang juga porak poranda akibat perang, dan meningkatkan risiko krisis HAM.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan ingin merealisasikan visi Presiden AS Donald Trump merelokasi sebagian besar penduduk Gaza melalui apa yang dia sebut sebagai 'migrasi sukarela'. Israel telah mengajukan proposal relokasi serupa ke sejumlah negara Afrika lainnya.
"Saya rasa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan, bahkan menurut hukum perang sejauh yang saya tahu, memperbolehkan penduduk untuk pergi, lalu anda masuk sekuat tenaga melawan musuh yang masih tersisa di sana," kata Netanyahu dalam wawancara dengan media Israel, i24, pada Selasa (12/8/2025). Meski demikian, Netanyahu tidak merujuk ke Sudan Selatan.
Meski rencana relokasi ini sejak lama ditolak oleh warga Palestina, kelompok HAM dan komunitas internasional lainnya, tapi bagi Sudan Selatan kesepakatan semacam itu membantu mereka membangun hubungan yang lebih dekat dengan Israel.
Kementerian Luar Negeri Israel menolak berkomentar terkait hal ini dan Kementerian Luar Negeri Sudan Selatan juga tidak merespons saat dimintai komentar.
Sementara itu, pendiri lobi firma AS yang bekerja dengan Sudan Selatan, Joe Szlavik, mengatakan telah diberi pengarahan oleh pejabat Sudan Selatan terkait pembicaraan ini. Dia mengatakan, delegasi Israel berencana mengunjungi Sudan Selatan untuk melihat kemungkinan pembangunan kamp bagi warga Palestina di sana.
Meski demikian, belum ada tanggal pasti kunjungan delegasi Israel. Israel juga tidak merespons saat diminta konfirmasi. Szlavik juga mengatakan, Israel kemungkinan akan membiayai pembangunan kamp-kamp itu.
Szlavik yang dipekerjakan untuk meningkatkan hubungan Sudan Selatan dengan AS mengatakan, AS mengetahui diskusi Israel dengan Sudan Selatan tapi tidak secara langsung terlibat.
Dia mengatakan, Sudah Selatan ingin pemerintahan Trump mencabut larangan perjalanan bagi warganya dan menghapus sanksi terhadap sejumlah elite Sudan Selatan.
"Sudan Selatan yang kekurangan uang membutuhkan sekutu, keuntungan finansial, dan keamanan diplomatik yang bisa didapatkan," kata jurnalis sekaligus penulis buku 'First Raise a Flag', Peter Martell.
Berdasarkan buku yang ditulis Martell, badan mata-mata Israel, Mossad, memberikan bantuan kepada Sudan Selatan selama perang saudara yang berlangsung selama puluhan tahun.
Kemungkinan Kecil Warga Gaza ke Sudan Selatan
Banyak warga Palestina yang mungkin ingin meninggalkan Gaza untuk sementara demi melarikan diri dari serangan Israel dan krisis kelaparan. Namun, mereka dengan tegas menolak rencana relokasi permanen.
Menurut mereka, relokasi permanen berarti memberikan lampu hijau kepada Israel untuk mencaplok Gaza dan membangun pemukiman Yahudi, seperti yang diserukan oleh para menteri sayap kanan di pemerintah Israel.
Meski ada warga Palestina yang ingin meninggalkan Gaza untuk sementara waktu, mereka tidak akan mengambil risiko pergi ke Sudan Selatan, yang merupakan salah satu negara paling tidak stabil dan berkonflik di dunia.
Sudan Selatan tengah berjuang pulih dari perang saudara yang pecah sejak kemerdekaan. Perang itu membunuh hampir 400 ribu orang dan menjerumuskan negara itu ke krisis kelaparan.
Tak hanya itu, negara yang kaya akan minyak itu dilanda korupsi dan bergantung pada bantuan internasional untuk membantu memberi makan 11 juta penduduknya tantangan yang semakin besar sejak pemerintahan Trump memotong bantuan asing besar-besaran.
Kesepakatan damai yang disepakati 7 tahun lalu masih rapuh dan ancaman perang kembali muncul karena pemimpin oposisi utama ditempatkan dalam tahanan rumah tahun ini.
Warga Palestina juga tidak akan merasa diterima di Sudan Selatan. Perang di Sudan Selatan mengadu domba penduduk dan menyebabkan gesekan antaragama.
Pemimpin kelompok masyarakat sipil Sudan Selatan, Edmund Yakani, juga mengungkapkan telah berbicara dengan pejabat negara terkait rencana ini. Empat pejabat yang mengetahui rencana ini mengkonfirmasi pembicaraan mengenai rencana ini sedang berlangsung.
Meski demikian, ia menegaskan Sudan Selatan tidak seharusnya jadi tempat pembuangan orang.
"Sudah Selatan tidak seharusnya jadi tempat pembuangan orang, dan tidak seharusnya menerima orang sebagai alat negosiasi untuk memperbaiki hubungan," katanya.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber