
SYDNEY (Lentera) - Warga Australia semakin merasakan tekanan hidup, yang salah satunya tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk Negeri Kanguru yang menunda atau terlambat membayar tagihan listrik.
Hal tersebut disampaikan salah satu pengecer energi terbesar di Australia seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (13/8/2025).
Rata-rata utang pelanggan yang berpartisipasi dalam program bantuan bencana AGL Energy Ltd tercatat naik 16 persen pada tahun fiskal 2025, sementara jumlah peserta meningkat sekitar seperlima menjadi lebih dari 34.000 akun, ungkap perusahaan dalam laporan keuangan tahunannya pada hari Rabu (13/8/2025).
Perusahaan mengungkap rata-rata utang pelanggan dalam program ini mencapai 2.343 dolar Australia (USD 1.530) pada akhir Juni, sekitar 320 dolar Australia lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya.
Standar hidup masyarakat Australia telah menurun drastis dengan output ekonomi per kapita yang hanya naik sekali dalam 11 kuartal terakhir.
Pada hari Selasa (12/8/2025), Bank Sentral atau Reserve Bank of Australia (RBA) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara tersebut. RBA sekarang melihat potensi pertumbuhan ekonomi sekitar 2 persen, turun dibandingkan dua dekade lalu sekitar 3 persen.
Tidak mungkin beban pada rumah tangga akan mereda dalam waktu dekat — Regulator Energi Australia menaikkan harga acuan listrik di seluruh negara bagian yang diawasinya, dengan alasan biaya jaringan yang lebih tinggi, dengan beberapa rumah tangga menghadapi kenaikan hampir 10 persen dari tahun sebelumnya.
"Ini adalah tekanan biaya hidup yang lebih luas yang telah dialami warga Australia," ujar Damien Nicks , CEO AGL, dalam sebuah wawancara. "Maksud saya, energi jelas merupakan salah satu komponennya."
Laba inti AGL turun lebih dari 20 persen menjadi sekitar 654 juta dolar Australia selama 12 bulan hingga Juni, meleset dari ekspektasi analis. Saham anjlok paling dalam sejak 2007 hingga pukul 10.35 pagi di Sydney.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber