17 August 2025

Get In Touch

Anggota DPRD Kota Malang Minta Perda Soal Pajak Direvisi: Berisiko Seperti di Pati

Anggota Komisi C DPRD Kota Malang, Arief Wahyudi. (Santi/Lentera)
Anggota Komisi C DPRD Kota Malang, Arief Wahyudi. (Santi/Lentera)

MALANG (Lentera) - Anggota Komisi C DPRD Kota Malang, Arief Wahyudi, meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Malang segera merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Perda tersebut mengatur kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Dari 0,055 persen menjadi 0,2 persen atau menurutnya hampir empat kali lipat.

Desakan tersebut disampaikan Arief melalui interupsi pada rapat paripurna DPRD Kota Malang, Rabu (13/8/2025). Ia mengingatkan, jika revisi tidak segera dilakukan, kebijakan ini berpotensi memicu gelombang protes warga, seperti yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

"Yang saya khawatirkan itu (kejadian seperti di Pati). Kalau masyarakat yang minta kan 'rapatnya' di depan Balkot itu. Tetapi kalau DPRD yang minta, akan di ruang paripurna," ujar Arief, ditemui usai paripurna DPRD.

Untuk diketahui, aksi unjuk rasa di Pati pada Rabu (13/8/2025) hari ini, dipicu oleh kebijakan kenaikan PBB sebesar 250 persen pada 2025. Arief menilai, kenaikan tarif PBB di Kota Malang justru lebih besar daripada di Pati.

Menurutnya, penerapan tarif tunggal 0,2 persen tanpa klasifikasi berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) akan memberatkan warga, terutama di kawasan perkampungan.

Dalam Perda sebelumnya, dikatakan Arief, tarif 0,055 persen diberlakukan untuk NJOP hingga Rp1,5 miliar, kemudian 0,112 persen untuk NJOP hingga Rp5 miliar. 0,145 persen untuk NJOP hingga Rp100 miliar, dan 0,167 persen untuk NJOP di atas Rp100 miliar.

"Tetapi dengan Perda yang baru semuanya ditetapkan 0,2 persen. Semuanya. Dan ini memberatkan," serunya.

Arief menjelaskan, meskipun kebijakan single tarif mengacu pada Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri, penentuan besaran tarif tetap menjadi kewenangan daerah. Menurutnya, angka 0,2 persen terlalu tinggi dan bisa diturunkan tanpa menyalahi ketentuan dari pusat.

Namun, ditegaskannya, penurunan tarif juga tetap harus melalui revisi Perda. Ditambahkannya, revisi Perda bisa dilakukan kapan saja tanpa menunggu bertahun-tahun. Langkah cepat tersebut dinilai dapat menenangkan masyarakat dan menunjukkan bahwa Pemkot serta DPRD berpihak kepada warga.

"Makanya senyampang masih baru. Dan bisa jadi masyarakat ini akan mengambil contoh Pati. Itu yang saya khawatirkan. Solusi dari saya, revisi saja. Paling aman ya direvisi dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sehingga masyarakat memahami, oh ternyata Pak Wali, DPRD, pro kepada rakyat," katanya.

Arief juga mengingatkan, opsi penundaan pelaksanaan tarif baru tetap berisiko, mengingat aturan yang digunakan saat ini mengacu pada Perda 1/2025, yang telah mencabut pasal-pasal Perda sebelumnya. Tanpa revisi, dasar hukum penarikan PBB akan menjadi lemah.

Lebih lanjut, Arief mengungkapkan, alasan utama kenaikan tarif PBB dari Pemkot Malang adalah untuk mengejar target PAD. Namun, ia menegaskan cara tersebut sebaiknya tidak mengorbankan kemampuan bayar masyarakat.

"Dinaikkan ini kan untuk memenuhi target dan menambah PAD saja. Itu saja. Gak ada yang lain. Tetapi kalau mau menambah PAD selalu ke rakyat, kan kasian," pungkasnya.

Menanggapi hal ini, Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, secara singkat mengaku akan mempelajari terlebih dahulu masukan atas revisi Perda tersebut. "Kami akan pelajari dulu," ujar Wahyu singkat. 

Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.