23 August 2025

Get In Touch

AI Bikin Ngeri, Mahasiswa MIT Putuskan Drop Out

Ilustrasi
Ilustrasi

SURABAYA (Lentera) - Mahasiswa Massachusetts Institute of Technology (MIT) memilih keluar dari kampus karena diliputi rasa khawatir terhadap perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Mereka menilai laju inovasi di bidang ini begitu cepat dan membawa dampak yang belum sepenuhnya dipahami, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang arah masa depan manusia. Fenomena ini menunjukkan bahwa kecemasan terhadap AI tidak hanya datang dari kalangan masyarakat umum, tetapi juga dari lingkungan akademik yang justru menjadi pusat pengembangan teknologi tersebut.

Salah satu yang mengambil langkah tersebut adalah Alice Blair, mahasiswa yang masuk MIT pada 2023. Ia memutuskan berhenti kuliah karena merasa masa depan umat manusia terancam oleh kehadiran artificial general intelligence (AGI), yakni bentuk kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan berpikir dan belajar layaknya manusia. Menurutnya, risiko yang ditimbulkan terlalu besar sehingga ia tidak lagi yakin melanjutkan pendidikannya di bidang yang berhubungan erat dengan teknologi tersebut.

“Saya khawatir tidak bisa hidup sampai lulus kuliah karena AGI. Dalam sebagian besar skenario, cara kita mengembangkan AGI justru berujung pada kepunahan manusia,” kata Blair melansir laman Futurism pada Senin (18/8/2025). 

Kini Blair bekerja sebagai penulis teknis di lembaga nirlaba Center for AI Safety dan tidak berencana kembali ke MIT. Dia mengaku sempat berharap bisa menemukan komunitas yang sama-sama peduli pada isu keamanan AI, tetapi pada akhirnya memilih melanjutkan perjalanannya di luar kampus. 

Pilihan Blair mendapat simpati dari Nikola Jurković, alumni Harvard yang pernah aktif dalam klub keselamatan AI di kampusnya, karena ia menilai keputusan tersebut lahir dari kesadaran akan risiko besar yang bisa ditimbulkan oleh kecerdasan buatan, terutama artificial general intelligence (AGI), terhadap masa depan manusia.

“Kalau kariermu akan digantikan otomatisasi pada akhir dekade ini, setiap tahun di bangku kuliah sama saja mengurangi waktu dari karier singkatmu,” katanya.

Jurković bahkan memperkirakan AGI akan hadir dalam empat tahun ke depan, diikuti otomatisasi penuh dalam lima hingga enam tahun. AGI sendiri dipandang sebagai tujuan akhir banyak perusahaan teknologi, yakni menciptakan sistem yang bisa menandingi atau melampaui kecerdasan manusia. 

CEO OpenAI, Sam Altman, bahkan menyebut peluncuran GPT-5 sebagai langkah besar menuju artificial general intelligence (AGI), dan meski menuai banyak kritik, ia berani menyatakan bahwa model tersebut sudah memiliki kecerdasan yang bisa dianggap umum.

Namun, sejumlah pakar menilai pernyataan tersebut berlebihan, salah satunya Gary Marcus, peneliti AI sekaligus kritikus industri, yang berpendapat bahwa teknologi itu masih jauh dari kata sempurna dan belum dapat benar-benar disamakan dengan kecerdasan manusia.

“Sangat kecil kemungkinan AGI hadir dalam lima tahun ke depan. Itu hanya jargon pemasaran, padahal banyak masalah mendasar seperti halusinasi dan kesalahan penalaran yang belum terpecahkan,” ujarnya. 

Marcus juga menekankan, meski AI memang membawa banyak dampak negatif mulai dari hilangnya pekerjaan, perusakan lingkungan, hingga penyebaran misinformasi, risiko kepunahan manusia akibat AGI masih sangat jauh dari kenyataan. 

Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.