23 August 2025

Get In Touch

Profesor UB Malang: Dual Balance Seimbangkan Hak Pelaku dan Korban Sistem Peradilan Pidana Anak

(tengah) Prof. Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum., Rabu (20/8/2025). (Santi/Lentera)
(tengah) Prof. Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum., Rabu (20/8/2025). (Santi/Lentera)

MALANG (Lentera) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum., menilai sistem peradilan pidana anak di Indonesia masih lebih menekankan perlindungan pada anak pelaku tindak pidana dibandingkan anak korban. Melalui penelitian bertajuk The Dual Balance Model, Nurini menawarkan konsep keseimbangan antara perlindungan anak pelaku dan pemenuhan hak anak korban.

Menurutnya, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), posisi anak dibagi menjadi tiga kategori, yaitu anak pelaku, anak korban, dan anak saksi. Namun pengaturan yang ada masih dominan melindungi pelaku, sementara pengaturan bagi korban sangat minim.

"UU SPPA saat ini lebih jauh fokusnya kepada perlindungan anak pelaku. Sementara anak korban itu minim sekali pengaturannya. Bukan tidak ada, tetapi minim. Sehingga terjadi ketimpangan," ujar Nurini, Rabu (20/8/2025).

Nurini menjelaskan, pemikiran ini berangkat dari penelitiannya sejak menyusun disertasi yang mengusulkan konsep diversi. Saat itu, UU SPPA belum disahkan sehingga anak pelaku tindak pidana tidak dapat menyelesaikan perkara di luar peradilan. Kondisi tersebut menimbulkan risiko stigmatisasi dari masyarakat terhadap anak.

"Stigma itu dibentuk oleh masyarakat, bukan aparat penegak hukum. Ketika anak sudah diberi label, ada kemungkinan dia memperbaiki diri, tapi bisa juga kembali melakukan tindak pidana karena penolakan dari lingkungannya," jelasnya.

Dual Balance Model ditawarkannya sebagai jawaban atas ketimpangan tersebut. Model ini bertumpu pada tiga pondasi, yakni penerapan keadilan restoratif, kepekaan terhadap luka batin anak pelaku, serta perbaikan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana.

Dari pondasi itu, Nurini merumuskan empat pilar utama. Pertama, asesmen psikologis anak. Kedua, penerapan Victim Impact Statement (VIS), yaitu kesempatan bagi korban untuk menyampaikan dampak tindak pidana secara langsung di depan hakim.

Ketiga, mediasi yang difasilitasi secara profesional agar proses berjalan menyejukkan. Keempat, partisipasi aktif korban dan pelaku sebagai subjek yang menentukan arah penyelesaian perkara.

"Dalam UU SPPA kita, VIS belum diakomodir. Padahal ini penting untuk memberi ruang bagi korban menyampaikan apa sih yang ia alami, misalnya trauma atau ketakutan," kata Nurini.

Ditambahkannya, model ini telah diuji dengan melihat praktik di beberapa negara seperti Amerika, Kanada, Belanda, dan Inggris. Hasilnya, sistem di negara-negara tersebut mampu mengakomodasi keseimbangan perlindungan bagi anak pelaku dan anak korban.

Meski demikian, Nurini menilai penerapan di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, regulasi belum mengatur keseimbangan hak pelaku dan korban. Kedua, penerapan VIS belum populer. Ketiga, kapasitas aparat penegak hukum yang belum merata dalam menangani kasus anak.

"SDM aparat penegak hukum perlu perhatian khusus. Karena ketika pelaku dan korban sama-sama anak, harus ada pendekatan misalnya berbasis trauma agar prosesnya adil dan tidak menambah luka," terangnya.

Sebagai informasi, Prof. Dr. Nurini Aprilianda akan dikukuhkan sebagai profesor aktif ke-13 di Fakultas Hukum UB pada Kamis (21/8/2025). Pengukuhan ini sekaligus menandai dirinya sebagai profesor ke-439 yang dihasilkan Universitas Brawijaya.

Reporter: Santi Wahyu/Editor: Ais

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.