
SURAKARTA (Lentera) -Kongres Persatuan Wartawan Indonesia bakal dilaksanakan pada 29-30 Agustus 2025. Gonjang-ganjing di organisasi wartawan terbesar di Indonesia, sementara reda.
Pihak Henry Bangun maupun Zulmansyah Sukedang, sama-sama legowo diselenggarakan kongres lagi. Henry, terpilih dalam Kongres di Bandung tahun 26 -27 September 2023. Seharusnya ia menjabat sampai tahun. 2028.
Sedang Zulmansyah terpilih dalam Kongres Luar Biasa (KLB) di Jakarta pada 18-19 Agustus 2024. Seharusnya ia menjabat sampai tahun 2028.
Namun, hasil KLB ternyata tak menyelesaikan masalah. Maka digelarlah Kongres 29 - 30 Agustus 2025 ini.
Kasus bermula dari kepengurusan Henry yang diduga terbelit masalah duit. Hasil audit akuntan publik menyatakan, tak ada penyelewengan.
Tapi senjata itu tak cukup ampuh, menghadapi keputusan Dewan Kehormatan (DK). Senjata itu tak mampu mempertahankan jabatan Henry.
Ketua DK, Sasongko Tedjo, keukeh, Henry salah. Tiada ampun. Kongres PWI selalu menarik perhatian khalayak.
Menjelang kongres, keriuhan hampir pasti selalu terjadi.
Luar biasa
Suasana panas, menjelang dan di saat kongres, itu hal biasa. Tapi kali ini riuhnya luar biasa.
Menarik pula, rata-rata Konfercab di daerah. Seru.....!!!
Kualitas demokrasi dalam pemilihan ketua, benar-benar terasa.
Lain di PWI Pusat dan daerah lain. Lain pula di PWI Cabang Surakarta. Suasana demikian hampir tak pernah terjadi di Solo. Menjelang Konfercab, juga biasa sih, "geger" terjadi.
Bedanya, geger di PWI pusat dalam arti kegaduhan. Tapi "geger" di Cabang Solo, dalam arti kebingungan.
Bingung mencari calon figur ketua. Hampir semua anggota yang ditawari menolak. Calon ketua, biasanya berani maju. Setelah dirayu - rayu.
Kalo bisa merayu, lebih dari satu calon itu suatu keberuntungan.
Kalo calon hanya satu. Maka, jadilah: aklamasi. Simple.Praktis. Tak bertele -tele. Begitulah yang terjadi akhir-akhir ini.
Kenapa di Solo, hampir selalu begitu ?
Ya, umumnya wartawan anggota PWI di Solo tak suka menonjol. Insan pers di sini, rata- rata "low profile". Wartawan-wartawan di sini, "lembah manah". Tak suka tampak di permukaan.
Tapi menarik, apa yang dikatakan salah seorang Ketua PWI Pusat, ketika melantik kepengurusan Cabang Surakarta beberapa waktu
Pak ketua bergumam. "Karangan bunga (ucapan selamat), hanya ada satu".
Ia tampak prihatin. Minim partisipasi pemerintah dan masyarakat.Tak ada satu pun karangan bunga dari pemerintah daerah se Solo Raya.
"Siapapun yang jadi ketua (PWI Cabang Surakarta), itu berat", ujarnya lirih.
Unkapan Pak Ketua, betul adanya. Jika saku tak ada isinya, bagaimana operasionalisasi organisasi berjalan?
Maaf, untuk menjamu tamu saja kadang kesulitan. Berani tampil jadi ketua. Harus berani pula menanggung resiko.
PWI Cabang Surakarta memang memprihatinkan. Organisasi PWI dilahirkan pada tahun 1946 di Solo. Tapi hingga kini, PWI Cabang Surakarta tak punya kantor sendiri. Kantor yang sekarang, hanya seukuran kamar. Itupun pinjaman.
"Kamar itu bagian dari Aset Monumen Pers.
Kepengurusan baru diharapkan ada perhatian khusus untuk PWI Cabang Surakarta.
Semoga Kongres PWI di Jakarta sukses. Terpilih pemimpin yang visioner. Dapat meningkatkan kesejahteraan anggota.
Banyak anggota yang kini hidup susah. Kerja dengan gaji tak menentu. Karena sudah di PHK, banyak pula anggota PWI yang masih menganggur (*)
Penulis: Subakti Sidik, Wartawan Senior PWI|Editor: Arifin BH