29 August 2025

Get In Touch

Menghadapi Tantangan Pajak Kripto di Indonesia

Menghadapi Tantangan Pajak Kripto di Indonesia

Oleh: Muhammad Farel

Penerimaan negara merupakan fondasi utama bagi keberlangsungan pembangunan nasional. Hampir semua sektor kehidupan Masyarakat mulai dari pendidikan, infrastruktur, subsidi energi, hingga program bantuan sosial bergantung pada kemampuan negara dalam mengelola dana publik secara adil, efisien, dan berkelanjutan. Tanpa penerimaan pajak yang memadai, sulit membayangkan keberlanjutan berbagai program pembangunan yang selama ini menopang kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks inilah, muncul pertanyaan besar: apakah Indonesia siap menghadapi tantangan baru yang ditimbulkan oleh perkembangan ekonomi digital yang kian pesat. Salah satu fenomena paling mencolok dalam perkembangan ekonomi digital adalah hadirnya mata uang kripto. Kripto, atau cryptocurrency, merupakan mata uang digital yang keamanannya dijamin melalui teknologi kriptografi. Pada awal kemunculannya, kripto dipandang sebagai tren sesaat. Namun seiring berjalannya waktu, aset ini tumbuh menjadi bagian penting dalam ekosistem keuangan global. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang tahun 2024 jumlah pengguna aset kripto di Indonesia mencapai 22,91 juta orang dengan nilai transaksi sebesar Rp. 650,61 triliun. Angka tersebut menunjukkan bahwa kripto tidak lagi bisa dipandang sebelah mata. Sebagian investor melihatnya sebagai instrumen spekulatif berisiko tinggi, sementara sebagian lain menganggap kripto sebagai aset masa depan yang menjanjikan.

Untuk mengoptimalkan potensi penerimaan negara, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memberlakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi kripto sejak Mei 2022. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa objek pajak meliputi penjualan dan pembelian aset kripto, penyelenggaraan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), hingga aktivitas penambangan kripto. PPh final sebesar 0,1% serta PPN sebesar 0,11% dikenakan pada setiap transaksi. Regulasi ini menjadi tonggak awal upaya pemerintah untuk memasukkan aset kripto ke dalam sistem perpajakan resmi. Namun, implementasi kebijakan pajak kripto di Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Aset kripto memiliki karakteristik berbeda dibandingkan instrumen konvensional seperti saham atau obligasi. Sifatnya yang terdesentralisasi memungkinkan transaksi dilakukan lintas platform, lintas negara, bahkan antar dompet digital pribadi, tanpa campur tangan lembaga resmi. Kondisi ini memunculkan berbagai kendala. Pertama, masih banyak wajib pajak yang belum memahami skema perpajakan kripto. Sebagian besar investor kripto adalah generasi muda yang minim literasi perpajakan, sehingga tidak tahu cara melaporkan transaksi mereka. Rendahnya tingkat literasi nasional juga memperburuk situasi; data UNESCO bahkan menempatkan Indonesia pada peringkat rendah dalam hal minat baca di dunia.

Kedua, munculnya platform perdagangan kripto asing yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menambah kompleksitas masalah. Banyak pengguna beralih ke platform asing karena beban pajak di dalam negeri dianggap tinggi, proses administrasi rumit, dan pilihan aset terbatas. Platform asing justru menawarkan kemudahan akses, variasi aset lebih banyak, serta tidak melakukan pemungutan pajak secara langsung. Akibatnya, terjadi arus transaksi gelap yang tidak tercatat dalam sistem perpajakan nasional. Meski pemerintah telah menetapkan aturan pajak kripto sejak 2022, penerapannya di lapangan masih jauh dari optimal. Hanya transaksi melalui exchange yang terdaftar di Bappebti yang dapat dipantau, sementara transaksi di luar itu nyaris tidak terdeteksi. Kondisi ini menimbulkan tax gap, yaitu selisih antara potensi pajak yang seharusnya diterima dengan jumlah yang benar-benar dibayarkan. Padahal, jika dikelola secara efektif, sektor kripto dapat menjadi sumber penerimaan baru yang signifikan, terutama di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan dan tekanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pengalaman negara lain dapat menjadi pembelajaran. Di Amerika Serikat, misalnya, Internal Revenue Service (IRS) mewajibkan setiap transaksi kripto dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Mulai 2025, bursa kripto di negara tersebut bahkan diwajibkan melaporkan aktivitas pengguna melalui formulir khusus, mirip laporan transaksi efek di pasar saham. Uni Eropa juga telah menyepakati aturan DAC8 yang memungkinkan pertukaran data perpajakan kripto lintas negara. Bandingkan dengan Indonesia, yang saat ini hanya mengandalkan laporan dari exchanger terdaftar, sementara transaksi di platform asing atau dompet digital pribadi sama sekali tidak tercatat. Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah Indonesia tidak cukup hanya menambah beban pajak bagi pengguna. Diperlukan mekanisme pelaporan yang adil, fleksibel, dan berbasis kolaborasi. Sistem pelaporan manual jelas tidak realistis mengingat satu investor bisa melakukan ratusan transaksi dalam sehari, termasuk aktivitas seperti swap token, yield farming, staking, hingga perdagangan NFT. Solusinya, pemerintah perlu menggandeng exchanger lokal maupun internasional untuk mengembangkan sistem pelaporan otomatis (automatic reporting). Skema ini mirip dengan mekanisme perpajakan saham dan reksa dana di Indonesia yang terbantu oleh sistem Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

Selain itu, kepastian hukum dan edukasi publik menjadi faktor krusial. Banyak pengguna kripto belum memahami kewajiban pajaknya. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan sanksi. Sosialisasi yang sederhana, jelas, dan berbasis media digital interaktif akan jauh lebih efektif daripada kampanye berbasis teks panjang yang hanya dibaca sebagian kecil masyarakat. Saat ini, aset kripto juga tengah memasuki masa transisi pengawasan dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sesuai dengan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUPPSK). Momentum ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menata ulang tata kelola perpajakan kripto secara komprehensif. Fokus utama sebaiknya bukan menambah jenis pajak atau menaikkan tarif, melainkan menutup celah pelaporan dan memperluas jangkauan sistem, tanpa membebani pelaku pasar secara berlebihan.

Dengan pendekatan yang tepat, pajak kripto dapat menjadi instrumen yang tidak hanya menambah penerimaan negara, tetapi juga membangun jembatan kepercayaan antara pemerintah dan pelaku ekonomi digital. Lebih jauh, kripto bukan hanya soal potensi spekulasi, melainkan bagian dari masa depan ekonomi Indonesia. Perubahan digital adalah kepastian, bukan pilihan. Masa depan Indonesia akan sangat ditentukan oleh seberapa cepat dan tepat bangsa ini beradaptasi dengan perkembangan ekonomi global. Jika pemerintah berani melakukan reformasi sistematis dan kolaboratif, sektor kripto bisa menjadi salah satu sumber penerimaan negara terbesar di masa depan. Dengan demikian, modernisasi pajak kripto akan menjadi tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju sistem perpajakan yang adil, inklusif, dan relevan dengan perkembangan zaman.
 

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.