
JAKARTA (Lentera) -Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan yang historis dan bersejarah terhadap lima gugatan uji formal terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Menurut rencana, lima gugatan uji formal terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) bakal diputus oleh MK pada Rabu (17/9/2025) besok.
"Kami semua di sini sangat berharap bahwa Mahkamah Konstitusi besok melahirkan atau menjatuhkan putusan yang bersifat historis, putusan bersejarah. Bukan sekadar putusan perkara biasa," kata Usman dalam konferensi pers daring, Selasa (16/9/2025).
"Khususnya amanat konstitusi kepada para penyelenggara negara agar menjaga demokrasi dari ancaman atau potensi ancaman kembalinya militerisme," ucap dia.
Menurut Usman, militerisme adalah intervensi militer secara langsung dalam kehidupan, pemerintahan, dan masyarakat, termasuk keterlibatan struktural yang tidak langsung dalam urusan politik, pemerintahan, bahkan ekonomi.
"Mandat dari konstitusi adalah reformasi sektor keamanan. Keamanan dalam pengertian besar di dalamnya tercantum pertahanan dan keamanan yang harus dipisahkan," ucap Usman.
"Juga di dalam konteks reformasi keamanan tersebut harus ada kontrol sipil terhadap militer," imbuh dia.
Usman berpendapat bahwa dua hal tersebut, yakni kontrol sipil atas militer dan pemisahan urusan pertahanan dan urusan keamanan, merupakan prinsip-prinsip yang sentral dalam konstitusi.
"Diperlukan peranan MK sebagai benteng terakhir untuk menjaganya," tutur dia.
Uji formil UU TNI
Diketahui, lima gugatan uji formal terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) bakal diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (17/9/2025).
Salah satu gugatan uji formal yang akan diputuskan diajukan oleh Inayah Wahid dan koalisi masyarakat sipil yang mengajukan gugatan uji formal pada 7 Mei 2025 dan mendapat nomor perkara 81/PUU-XXIII/2025.
Mengutip Kompas, para pemohon pada pokoknya mempersoalkan pelanggaran sejumlah asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Asas yang dimaksud di antaranya adalah asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; asas dapat dilaksanakan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas kejelasan rumusan; serta asas keterbukaan.
Padahal, asas keterbukaan berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU P3 menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, bersifat transparan dan terbuka.
Oleh sebab itu, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (*)
Editor: Arifin BH