22 September 2025

Get In Touch

Rumah Aspirasi Cak Ji, Tempat Warga Kota Menyampaikan Pengaduan

ARSIP: Dokumentasi Cak Ji dan Anggota Peradi Surabaya dalam komitmen membantu warga Surabaya secara hukum (Kompas)
ARSIP: Dokumentasi Cak Ji dan Anggota Peradi Surabaya dalam komitmen membantu warga Surabaya secara hukum (Kompas)

SURABAYA (Lentera) -Selasa pagi (16/9/2025) pukul 09.00 WIB terik matahari mulai menyentuh rumah di Jalan Walikota Mustajab Nomor 78 Surabaya. Itulah 'Rumah Aspirasi' Wakil Wali Kota Surabaya, Ir. Armuji.

Setiap hari Selasa, suasana di 'Rumah Aspirasi' selalu ramai didatangi warga dari berbagai penjuru kota Surabaya. Sejak pagi, mereka mulai berdatangan.

Ada yang cuma berdua bersama suami-istri. Ada yang menenteng map berisi dokumen. Ada yang datang hanya bermodalkan cerita dan keluhan yang sudah lama terpendam. Semuanya berbaur tanpa sekat, tanpa hirarki yang menakutkan.

Rumah itu seolah menjelma menjadi curhatan rakyat. Ruang tempat orang-orang kecil menemukan tempat untuk didengar.

Cak Ji—sapaan akrab Armuji—menyambut mereka dengan sapaan khasnya, "Ono opo rek, ono opo (ada ada Mas, ada apa)?".

Kemudia, ia mendengarkan satu per satu cerita yang mengalir, mulai dari persoalan sepele seperti lampu jalan yang mati, tidak mampu membayar SPP, ijazah ditahan, sampai masalah pelik seperti sengketa tanah, dan pungutan liar. Bahkan urusan keluarga yang butuh mediasi.

Tidak ada jarak, tidak ada protokol yang berlapis. Setiap orang diberi ruang yang sama untuk bicara, seakan-akan rumah itu benar-benar milik mereka.

Fenomena 'Rumah Aspirasi' yang selalu penuh ini bukanlah hal baru, tetapi konsistensinya menjadikannya berbeda. Mirip pasar yang tidak pernah sepi pembeli.

Orang yang datang silih berganti, membawa keluhan dan harapan yang berbeda. Suasana riuh rendah kadang mengingatkan pada deretan lapak di Pasar Turi atau Pasar Genteng, di mana orang berdatangan dengan maksud masing-masing.

Bedanya, yang dijajakan di rumah aspirasi ini bukan barang dagangan, melainkan keadilan, solusi, dan kesempatan untuk menyuarakan suara hati.

Yang menarik, Cak Ji tidak sekadar menjadi pendengar pasif. Ia kerap langsung turun tangan menyelesaikan persoalan jika memang bisa. Telepon ke dinas terkait sering kali dilakukan saat itu juga. Tanpa menunggu rapat atau disposisi.

Bagi warga, momen itu menjadi saksi: pejabat bisa benar-benar hadir dan bertindak cepat.

Namun, ketika masalah yang dibawa warga tidak bisa segera ditangani, ia tidak mengumbar janji kosong. Dengan tegas, ia menjelaskan batasan-batasannya, sembari menawarkan alternatif jalan keluar lain.

"Nek gak isok, tak tegesi gaisok (kalau tidak bisa, saya tegas tidak bisa)" ujar Armuji dengan bahasa Arek yang lumrah bagi warga Kota Pahlawan. 

Sikap ini membuat warga merasa dihargai. Mereka mungkin tidak selalu mendapatkan hasil yang diinginkan, tetapi setidaknya mereka tahu ada pejabat yang mau jujur dan transparan.

Sebagian kalangan pernah memberi label kepada Armuji sebagai kepala daerah yang sekadar “konten”. Gemar tampil di media sosial dan mengunggah aktivitas sehari-hari.

'Rumah Aspirasi' menjadi bukti paling nyata bahwa keberadaannya bukan sekadar citra di layar gawai. Di balik kamera, ada ruang nyata di mana ia bertemu langsung dengan rakyat tanpa perantara. Di sanalah terlihat wajah politik yang sesungguhnya: sederhana, apa adanya, dan terbuka.

'Rumah Aspirasi' juga menimbulkan efek domino yang tidak bisa dianggap remeh. Banyak warga yang sebelumnya takut melapor kini berani menyampaikan keluhan.

Sejumlah praktik nakal di lapangan terungkap berkat laporan warga yang langsung dibawa ke rumah itu. Istilah “negara no viral no justice” yang belakangan sering jadi keluhan masyarakat, seakan terpatahkan di sini.

Tidak perlu menunggu kasus menjadi viral di media sosial. Datang ke 'Rumah Aspirasi' masalah warga bakal mendapat perhatian. Kondisi ini tentu membuat pihak-pihak yang selama ini bermain di balik pelayanan publik menjadi lebih berhati-hati.

Apa yang dilakukan Cak Ji ini juga memberi pelajaran penting tentang bagaimana demokrasi lokal seharusnya berjalan. Demokrasi tidak melulu soal kotak suara lima tahunan, tetapi juga soal keterbukaan pejabat publik untuk menerima aspirasi kapan pun dibutuhkan.

'Rumah Aspirasi' menjadi ruang partisipasi rakyat yang nyata. Tempat masyarakat bisa terlibat langsung. Bukan sekadar menjadi objek kebijakan.

Di situ, rakyat bukan lagi sekadar angka dalam statistik atau deretan nama dalam daftar pemilih tetap, melainkan manusia dengan cerita, keluhan, dan harapan yang berharga.

Fenomena ini juga memperlihatkan karakter politik PDI Perjuangan yang selalu dekat dengan rakyat. Sebagai kader partai banteng, Armuji ingin menegaskan bahwa politik kerakyatan masih relevan di tengah zaman digital.

Ia menjemput aspirasi rakyat bukan melalui layar, tetapi melalui tatap muka, dengan duduk bersama di ruang yang sederhana.

Tentu, ada juga pihak yang skeptis: menilai 'Rumah Aspirasi' hanyalah panggung untuk membangun popularitas pribadi.

Fakta di lapangan terbukti sebaliknya. Jika hanya ingin popularitas, ia tidak perlu menampung puluhan keluhan setiap pekan yang sebagian besar tidak memberi keuntungan politik instan.

'Rumah Aspirasi' ini lahir dari keyakinan: pejabat publik harus benar-benar hadir di tengah masyarakat, apa pun risikonya.

Rumah dinas Armuji menjelma menjadi karakter politik rakyat cukup unik di Surabaya.

Di sana, keluhan dan harapan bertukar menjadi kenyataan. Solusi disampaikan. Kejujuran ditawarkan, dan kehadiran pejabat diuji.

Tidak ada transaksi uang, tetapi ada transaksi kepercayaan. Tidak ada lapak barang, tetapi ada lapak aspirasi.

Mirip pasar tradisional yang selalu hidup karena interaksi manusia yang hangat. 'Rumah Aspirasi' terus berdenyut setiap Selasa. Memberi ruang bagi warga untuk merasa tidak sendirian.

Reporter: Pradhita|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.