
DEN HAAG (Lentera) – Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, resmi dijerat Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dakwaan ini berkaitan langsung dengan ribuan korban tewas dalam kebijakan kontroversialnya yang dikenal sebagai perang melawan narkoba.
Pria berusia 80 tahun itu dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab secara pidana atas rentetan eksekusi tanpa proses hukum, yang menargetkan pengedar, pengguna, hingga tersangka kriminal lain sejak ia masih menjabat Wali Kota Davao hingga menjadi Presiden Filipina pada 2016–2022.
Wakil Jaksa ICC, Mame Mandiaye Niang, menegaskan Duterte adalah “pelaku tidak langsung” dalam rangkaian pembunuhan tersebut.“Duterte dan para pelaku lainnya memiliki rencana untuk ‘menetralisir’ tersangka kriminal melalui aksi kekerasan, termasuk pembunuhan,” jelas ICC dikutip Selasa (23/9/2025).
Dia menilai Duterte berperan sebagai “pelaku tidak langsung” karena operasi di lapangan dilakukan aparat, termasuk kepolisian. Dakwaan terhadapnya mencakup pembunuhan puluhan orang di Davao antara 2013–2016, serta eksekusi dan percobaan pembunuhan puluhan orang lain saat ia memimpin negara.
Meski jumlah resmi korban perang narkoba tercatat lebih dari 6.000 orang, kelompok HAM memperkirakan angka sebenarnya bisa mencapai 30 ribu jiwa. Duterte tak pernah meminta maaf, bahkan mengaku siap menanggung semua konsekuensi hukum.
Pada Maret 2025, Duterte ditangkap di Manila dan segera diterbangkan ke Belanda untuk ditahan di fasilitas ICC. Proses hukum akan menentukan apakah bukti yang diajukan cukup untuk menggelar sidang penuh.
Reaksi pun terbelah. Pendukung Duterte menyebut penahanannya bermuatan politik dan melanggar hukum, sementara keluarga korban perang narkoba menilai langkah ICC sebagai “awal dari akuntabilitas”. Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr., menegaskan pihaknya mematuhi aturan internasional dan bersedia bekerja sama dengan ICC.
Duterte kini menjadi mantan kepala negara Asia pertama yang didakwa ICC atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Perjalanan kasusnya diperkirakan akan memakan waktu panjang sebelum vonis dijatuhkan.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber