26 September 2025

Get In Touch

Dispangtan Kota Malang Optimistis Panen Akhir Tahun Hasilkan 15 Ribu Ton Gabah

Kepala Dispangtan Kota Malang, Slamet Husnan. (Santi/Lentera)
Kepala Dispangtan Kota Malang, Slamet Husnan. (Santi/Lentera)

MALANG (Lentera) -Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Malang optimistis masa panen akhir tahun akan menghasilkan sekitar 15 ribu ton gabah.

Kepala Dispangtan Kota Malang, Slamet Husnan, mengatakan adanya panen pada November-Desember 2025 mendatang, sektor penggilingan padi diperkirakan kembali bergairah, setelah sebelumnya sempat melambat akibat berkurangnya stok gabah.

Slamet menjelaskan, penurunan aktivitas penggilingan padi sudah terjadi sejak Agustus 2025. Menurutnya, kondisi itu wajar karena masa panen di Kota Malang mulai menurun sehingga stok gabah di lapangan menipis.

"Oh, itu (penggilingan padi mulai lesu) sebenarnya situasi biasa. Karena memang sejak bulan Agustus, masa panen di Kota Malang memang menurun. Akibatnya, penggilingan padi mulai kehabisan stok gabah," ujar Slamet, Rabu (24/9/2025).

Ditegaskannya, kondisi tersebut hanya bersifat sementara. Memasuki bulan November hingga Desember, Slamet menyebut masa panen diperkirakan kembali meningkat. Serta ketersediaan gabah akan mencukupi kebutuhan sektor penggilingan.

"Kalau nanti masuk November dan Desember, stok gabah pasti mulai ada lagi. Jadi sektor penggilingan tidak akan kesulitan untuk melakukan kegiatan gilingnya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dispangtan Kota Malang juga menargetkan, produksi gabah akhir tahun tetap stabil di angka 15 ribu ton. Slamet menyebut, target tersebut realistis dan aman untuk dicapai.

Meski demikian, menurutnya kebutuhan konsumsi beras masyarakat Kota Malang mencapai 40-45 ribu ton per tahun. Jauh dari hasil produksi gabah yang diperoleh. "Kota Malang memang bukan kota produsen, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tetap diperlukan kerja sama antar daerah," terangnya.

Menurutnya, ketersediaan beras di gudang Bulog Malang juga sangat membantu dalam menjaga ketersediaan beras di Kota Malang. Meski produksi lokal terbatas, pasokan dari Bulog mampu menutup selisih kebutuhan masyarakat.

Di sisi lain, Slamet juga meyinggung terkait harga gabah. Menurutnya, pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram. Namun, harga di lapangan kerap berada di atas HET, bahkan bisa mencapai Rp7.200 per kilogram.

Besarnya harga di pasaran yang berbeda dengan HET, menurut Slamet, justru akan menguntungkan pihak petani. Pasalnya dengan harga Rp6.500 per kilogram saja, disebutnya, petani sudah merasa terbantu karena biaya usahanya mulai dari membeli benih, mengolah lahan, hingga biaya panen sudah bisa tertutupi. 

"Apalagi kalau harga bisa naik ke Rp7.000 atau Rp7.200, itu justru menguntungkan petani," paparnya.

Dirinya kembali menegaskan, kenaikan harga gabah di atas HET bukanlah persoalan. Justru hal itu dianggap sebagai keuntungan yang membuat petani lebih sejahtera.

"Jadi tidak apa-apa dijual di atas HET. Itu malah keuntungan bagi petani (bukan dimonopoli Bulog). Pemerintah melihat petani selama ini belum sepenuhnya sejahtera. Dengan harga tersebut, petani bisa membayar modal, menyisihkan untuk usaha tani berikutnya, bahkan menabung," kata Slamet.

Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.