02 October 2025

Get In Touch

Parlemen Digital, Penyeimbang Baru di Tengah Parlemen yang Hilang Arah

Parlemen Digital, Penyeimbang Baru di Tengah Parlemen yang Hilang Arah

Oleh: M. Isa Ansori*

Parlemen kita kian sering kehilangan kompasnya. Keputusan politik yang lahir dari gedung megah tak jarang justru berseberangan dengan suara rakyat yang diwakilinya. Di tengah kekecewaan itu, masyarakat digital tampil sebagai kekuatan baru. Mereka membangun “parlemen digital” – ruang alternatif yang lebih jujur, transparan, dan berani menyeimbangkan kekuasaan ketika parlemen formal kehilangan arah.

Krisis Representasi

Demokrasi seharusnya menjanjikan bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi. Namun, janji itu seringkali dikhianati. Wakil rakyat yang lahir dari pemilu tak jarang lebih loyal pada partai dan elit ketimbang suara publik. Peristiwa Agustus Kelabu menjadi simbol betapa kekecewaan rakyat lahir dari keputusan yang jauh dari aspirasi mereka.

Kondisi ini menegaskan adanya krisis representasi. Parlemen resmi kehilangan peran sebagai cermin rakyat. Yang tersisa hanyalah formalitas, sementara suara rakyat semakin jauh dari ruang sidang.

Generasi Alfa dan Masyarakat Digital

Namun, zaman terus bergerak. Generasi Alfa lahir dalam ekosistem digital yang cair, cepat, dan tanpa sekat. Mereka tumbuh dengan keterampilan mengonsumsi sekaligus memproduksi informasi dalam hitungan detik.

Di era ini, kebijakan politik yang merugikan rakyat sulit disembunyikan. Sekali muncul, ia segera viral, dibedah, dan diperdebatkan di ruang digital. Rakyat kini bukan sekadar penerima keputusan, melainkan pengawas aktif yang bisa membentuk gelombang opini publik dalam sekejap.

Masyarakat digital inilah yang melahirkan embrio baru demokrasi: digital parlemen.

Digital Parlemen: Bayangan yang Semakin Nyata

Digital parlemen adalah ruang alternatif di mana rakyat bisa bersuara tanpa menunggu lima tahun sekali. Ia tidak memiliki kursi empuk, palu sidang, atau gedung megah, tetapi memiliki kekuatan lebih besar: suara publik yang spontan, jujur, dan masif.

Kita telah melihatnya di Nepal. Ketika rakyat dikhianati elit yang korup, suara digital bertransformasi menjadi gerakan kolektif. Petisi online berubah menjadi demonstrasi besar-besaran, hingga mengguncang kekuasaan. Nepal memberi pelajaran bahwa masyarakat digital bisa menjadi penyeimbang kekuasaan ketika parlemen dan eksekutif gagal menjaga amanah.

Indonesia pun bergerak ke arah yang sama. Setiap kebijakan kontroversial kini langsung dipantau, dikritisi, dan ditolak oleh rakyat digital. Sadar atau tidak, inilah wujud nyata dari digital parlemen yang sedang tumbuh.

Risiko yang Mengintai

Meski menjanjikan, digital parlemen bukan tanpa risiko. Ia bisa terjebak pada banjir hoaks, manipulasi opini, atau bahkan dikuasai oleh buzzer politik. Ia bisa menjadi echo chamber yang memperkuat polarisasi tanpa melahirkan solusi.

Tanpa pagar yang jelas, digital parlemen hanya akan menjadi arena gaduh yang bising, bukan kekuatan demokrasi yang sehat.

Solusi Menjaga Demokrasi Digital

Agar digital parlemen benar-benar menjadi penyeimbang, ada beberapa langkah penting yang perlu ditempuh:

1. Literasi Digital Politik
Rakyat perlu dibekali kesadaran untuk membaca informasi politik secara kritis, memahami kepentingan yang tersembunyi, dan membedakan fakta dari manipulasi.

2. Platform Transparan dan Akuntabel
Digital parlemen harus berbasis sistem yang jelas: partisipasi terverifikasi, voting terbuka, dan data yang bisa diaudit publik.

3. Konektivitas dengan Parlemen Formal
Suara digital tidak boleh berhenti di ruang maya. Parlemen resmi harus membuka e-hearing, menerima petisi digital, dan menanggapi kritik publik secara terbuka.

4. Etika Publik dan Moderasi Independen
Diskusi digital harus dijaga dengan kode etik yang melarang ujaran kebencian dan fitnah. Moderator independen harus hadir untuk memastikan perdebatan tetap sehat.

5. Kolaborasi dengan Media dan Akademisi
Media independen dapat menjadi penjaga kebenaran lewat fact-checking, sementara akademisi memberi analisis berbasis data. Sinergi ini akan menjaga digital parlemen dari jebakan propaganda.

Menyongsong Demokrasi Baru

Digital parlemen adalah jawaban atas kekecewaan rakyat terhadap parlemen formal. Ia adalah penyeimbang baru, lahir dari denyut rakyat digital yang semakin kritis. Tantangannya kini bukan pada kemauan rakyat untuk bersuara, tetapi pada bagaimana suara itu bisa diorganisir, dijaga, dan diarahkan agar benar-benar membawa perubahan.

Kita tidak boleh membiarkan digital parlemen terjebak dalam kegaduhan semata. Ia harus menjadi ruang demokrasi baru yang sehat, partisipatif, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Penutup

Parlemen digital adalah cermin zaman. Ia lahir karena parlemen resmi kehilangan arah. Ia tumbuh karena rakyat butuh ruang partisipasi yang lebih jujur dan transparan. Jika kita mampu menjaganya, digital parlemen akan menjadi pilar baru demokrasi, penyeimbang kekuasaan yang tak lagi bisa dibungkam.

Rakyat tidak lagi harus menunggu lima tahun sekali untuk didengar. Suara mereka hadir setiap saat, di setiap kebijakan, dan di setiap denyut demokrasi. Itulah kekuatan sejati: ketika rakyat menemukan kembali suaranya, dan kekuasaan tak lagi bisa berjalan tanpa mereka.

*Kolumnis dan Akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, serta Wakil Ketua ICMI Jawa Timur

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.