30 September 2025

Get In Touch

DPR RI Desak Reformasi Total Garuda Indonesia Buntut Rugi Rp2,33 T

Anggota Komisi VI DPR RI, Budi Sulistyono
Anggota Komisi VI DPR RI, Budi Sulistyono

SURABAYA (Lentera) – Anggota Komisi VI DPR RI, Budi Sulistyono atau yang akrab disapa Kanang, mendesak dilakukannya reformasi total terhadap PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Diketahui maskapai nasional tersebut melaporkan kerugian bersih sebesar Rp2,33 triliun pada semester I/2025. Nilai ini meningkat signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Direksi Garuda Indonesia, PT Angkasa Pura Indonesia, dan PT Integrasi Aviasi Solusi, Kanang menyebut persoalan Garuda Indonesia bukan sekadar kerugian keuangan, melainkan juga mencakup kewajiban kepada karyawan, utang vendor, hingga kebijakan penerbangan rintisan yang merugi.

“Masalah utama Garuda ini tidak sederhana. Beban kewajiban kepada karyawan belum selesai, kewajiban terhadap vendor banyak yang tersendat, SDM pun perlu reformasi luar biasa. Belum lagi kebijakan politis terkait penerbangan rintis yang non-profit, itu menjadi beban tersendiri. Jadi yang dibutuhkan bukan sekadar langkah biasa, tapi kiat yang luar biasa dan spektakuler,” ungkap Kanang, Minggu (28/9/2025).

Laporan keuangan semester I/2025 menunjukkan bahwa Garuda mencatat pendapatan usaha sebesar US$1,54 miliar atau turun 4,47 persen secara tahunan. Sementara itu, liabilitas perusahaan mencapai US$8,01 miliar dengan total aset US$6,51 miliar, yang berarti Garuda mencatat ekuitas negatif senilai US$1,49 miliar. Defisit saldo laba juga bertambah dari US$3,51 miliar pada akhir 2024 menjadi US$3,65 miliar per Juni 2025.

Kanang mengurangi efektivitas penggunaan dana dana pemerintah senilai Rp6,65 triliun yang sebelumnya telah disuntikkan ke perusahaan.

"Pemerintah sudah menghabiskan Rp6,65 triliun. Pertanyaannya, dana sebesar itu digunakan untuk apa? Apakah hanya untuk operasional supaya tidak merugi? Apakah untuk menutup beban masa lalu? Atau bisa sekaligus menyelesaikan masalah dan mendorong keuntungan? Itu harus dijelaskan secara transparan," ujarnya.

Ia juga menyoroti tingkat keterisian kursi (load factor) Garuda yang sudah mencapai 78 persen dari kapasitas 6,85 juta kursi, namun belum mampu menghasilkan keuntungan. Menurutnya, angka tersebut seharusnya cukup untuk membukukan keuntungan.

"Kalau sudah 78 persen, seharusnya untung. Karena tidak ada maskapai yang bisa 100 persen. Tapi anehnya, Garuda tetap rugi meski harga tiketnya jauh lebih tinggi dibandingkan maskapai lain. Ini yang harus dievaluasi serius," tuturnya.

Kanang menyarankan agar Garuda Indonesia belajar dari manajemen maskapai swasta seperti Lion Air, yang dinilai lebih efisien dan mampu menguasai pasar domestik. Ia juga bertanya-tanya mengapa pengalaman eksekutif Garuda yang pernah berkarier di maskapai swasta tidak dapat diterapkan.

"Kenapa manajemen yang pernah diterapkan di Lion tidak bisa ditransfer ke Garuda? Apa gunanya kita merekrut mereka kalau manajemen profit yang dulu diterapkan tak juga dipakai di Garuda?" katanya.

Ia juga membuka opsi merger antara Garuda dan maskapai lain sebagai solusi jangka panjang. Opsi lain yang ditawarkan adalah integrasi Garuda dengan Pelita Air.

"Apakah mungkin negara bernegosiasi dengan Lion untuk menggabungkan Garuda? Daripada hancur terus atau ditutup, lebih baik negara dapat beberapa persen saham. Katakanlah 60 persen, lalu armada Garuda dan Lion digabung. Itu memungkinkan jadi jalan keluar. Alternatif lain, Garuda masuk ke Pelita, karena manajemennya lebih sehat," jelasnya.

Selain strategi bisnis, Kanang menyoroti struktur biaya perusahaan yang dinilai terlalu tinggi, termasuk fasilitas karyawan yang berlebihan.

Kalau kita lihat di maskapai lain, karyawan bahkan pilot datang ke bandara naik taksi sendiri, tidak ada jaminan hari tua yang berlebihan, fasilitas keluarga pun biasa saja. Tapi di Garuda, fasilitasnya 'wah' sekali. Inilah yang membedakan dan akhirnya menjadi beban biaya,” ucapnya.

Kanang menegaskan, DPR akan terus mengawal langkah pemerintah dalam menangani kondisi keuangan Garuda Indonesia. Ia menilai, tanpa reformasi total, perusahaan tidak akan mampu keluar dari jeratan kerugian meski terus mendapat bantuan dana.

"Pertama, manajemen yang diakomodasi sekarang belum maksimal. Kedua, injeksi dana juga harus jelas diarahkan. Ketiga, reformasi total itu wajib. Kalau tidak, kita hanya akan mengulangi masalah yang sama. Jadi harus ada evaluasi menyeluruh," tutupnya.

Reporter: Pradhita/Editor:Widyawati

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.