02 October 2025

Get In Touch

Mahasiswa Udinus Semarang Jadikan Enceng Gondok Briket Ramah Lingkungan

Mahasiswa Udinus bekerjasama membuat briket berbahan eceng gondok dari Rawa Pening, Kabupaten Semarang. (foto:ist/Kompas.com)
Mahasiswa Udinus bekerjasama membuat briket berbahan eceng gondok dari Rawa Pening, Kabupaten Semarang. (foto:ist/Kompas.com)

SEMARANG (Lentera) - Populasi eceng gondok di Rawa Pening, Kabupaten Semarang kian tak terbendung, menimbulkan sedimentasi dan persoalan lingkungan. 

Selama ini, eceng gondok diolah menjadi pupuk maupun bahan baku kerajinan. Namun, mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang, menemukan potensi lain dengan mengolahnya menjadi briket ramah lingkungan. 

“Kami mengembangkan Eichhornia Eco-Briquette, yakni inovasi briket eceng gondok, sekam, dan residu sebagai energi alternatif berkelanjutan untuk pengendalian gulma serta limbah industri,” kata ketua tim pengembangan briket eceng gondok Udinus, Wahyu Suryaning Tyas mengutip Kompas.com, Rabu (1/10/2025). 

Tim ini beranggotakan Gilardinho Javiere Oscoraldo Pedrosa Soares, Suluh Yoga Pratama, Helena Hapsari Nugroho, dan Kohelet Aprilio Toka dengan pembimbing Filmada Ocky Saputra, M.Eng. 

“Inovasi ini berhasil lolos pendanaan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) tahun 2025,” ungkapnya. 

Tyas menyebut, inovasi ini lahir dari keresahan terhadap eceng gondok yang invasif di Rawa Pening dan mengganggu nelayan setempat. 

Selain itu, limbah pertanian berupa sekam padi dan residu tempurung kelapa dari industri briket juga belum termanfaatkan secara optimal. Briket dibuat melalui proses sederhana, mulai dari menjemur eceng gondok hingga kering, membakarnya menjadi arang, lalu menghaluskannya hingga bubuk. 

Sekam padi dan residu tempurung kelapa diproses serupa, kemudian bahan dicampur dengan tepung tapioka sebagai perekat alami, diblender, dan dicetak dalam bentuk cube maupun hexagonal. 

Menurut Tyas, Eichhornia Eco-Briquette punya manfaat ganda, yakni pengendalian gulma, pemanfaatan limbah pertanian, serta penyediaan energi alternatif bersih. 

“Kami berharap produk ini dapat segera dikembangkan dalam skala lebih besar dan bisa bekerja sama dengan petani serta masyarakat lokal, sehingga membuka lapangan pekerjaan baru,” katanya. 

Produk ini belum resmi diluncurkan, namun antusias pasar cukup baik. 

“Dengan harga Rp 10.000 per kilogram, penjualan sudah mulai berjalan di pasar lokal Kota Semarang, Kabupaten Semarang, serta luar kota di Pekalongan,” papar Tyas.

 

Editor: Arief Sukaputra

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.