
MALANG (Lentera) - Gempa magnitudo 6.5 yang mengguncang wilayah Sumenep serta pulau Sapudi, pada 30 September 2025, memicu ratusan gempa susulan. Hingga 2 Oktober 2025 pukul 05.49 WIB, tercatat 162 kali gempa susulan.
Melihat kondisi ini, pakar geofisika Universitas Brawijaya (UB), Prof. Drs. Ir. Adi Susilo, M.Si., Ph.D, memberi penjelasan tentang potensi patahan yang ada di Jawa Timur dan risiko yang menyertainya.
"Kalau (potensi) tsunaminya hampir tidak ada di wilayah utara Jatim. Tetapi gempa patahan yang merusak, masih berpotensi. Karena di sana tidak ada patahan turun atau patahan naik. Yang ada, ya patahan biasa yang tidak dalam," ujar Prof. Adi, dikonfirmasi melalui sambungan selular, Kamis (2/10/2025).
Meski begitu, Adi mengingatkan gempa yang bersifat merusak tetap berpotensi terjadi akibat patahan dangkal. "Kalau kedalamannya dangkal, walaupun magnitudo kecil, biasanya merusak. Dangkal itu akibat patahan lokal di situ," jelasnya.
Mengenai gempa Sumenep dan Pulau Sapudi, Adi menyebut peristiwa itu kemungkinan berkaitan dengan patahan di sekitar Pulau Kambing. Awalnya, dikhawatirkan dari patahan Rembang–Madura–Kangean–Sakala (RMKS) yang berdekatan di sumber gempa.
"Ternyata ada di bawahnya, di Pulau Kambing, sehingga disebut patahan Kambing. Bisa jadi patahan baru, atau patahan lama yang kembali aktif," ungkapnya.
Lebih lanjut, mengenai sesar RMKS yang disebut membelah Surabaya, Adi menyebut hingga saat ini belum ada indikasi aktif. "Antara aktif atau tidak, sampai saat ini diperkirakan masih belum. RMKS ada di utara, sementara yang kemarin justru di selatan Kangean–Sakala. Belum ada indikasi sesar aktif," terangnya.
Meski begitu, ia menegaskan jika sesar tersebut benar-benar aktif, dampaknya dapt signifikan. Pasalnya, jika bicara bencana, sesar RMKS mungkin tidak berbahaya bila tidak ada manusia dan bangunan.
Namun, akan menjadi bahaya karena terdapat manusia dan infrastruktur di wilayah tersebut. "Gerakan kecil pun bisa berdampak besar," tuturnya.
Untuk mengantisipasi risiko bencana, Adi menekankan pentingnya kebijakan tata ruang yang memperhatikan jalur patahan. "Daerah garis patahan itu kalau bisa jangan ada bangunan. Bangunan sekuat apapun tidak bisa menahan proses alam jika memotong garis patahan," tegasnya.
Sebagai contoh, ia menyinggung peristiwa di selatan Kabupaten Malang, di mana beberapa rumah hancur akibat gempa berulang kali. Dari situ, Adi mengetahui rumah tersebut berdiri memotong garis patahan sehingga pergerakan tanah sekecil apapun, akan menyebabkan kerusakan pada bangunan.
"Saya melihat ada rumah di Wirotaman yang hancur akibat gempa tahun 2000, lalu 2021 hancur lagi. Setelah saya cek, ternyata ada garis patahan di depan Balai Desa. Saya sarankan bangunannya digeser, jangan memotong patahan. Jadi seperti itu contohnya," jelasnya.
Sebelumnya Kepala Stasiun Geofisika Malang, Ma’muri, menyampaikan aktivitas gempa di Jawa Timur bagian utara memang meningkat belakangan ini, namun masih tergolong wajar. Menurut Prof. Adi wilayah utara Jawa hampir tidak memiliki potensi megathrust yang dapat memicu tsunami besar.
Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH