
MALANG (Lentera) - Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang mengungkap tren peralihan para petani, menanam komoditas jeruk dalam beberapa tahun terakhir.
Fenomena hijrah ke pertanian jeruk itu bahkan disebut menjadikan Kabupaten Malang sebagai daerah, dengan penghasil jeruk tertinggi di Jawa Timur, melampaui daerah sentra buah lainnya di provinsi ini.
"Industri jeruk di Kabupaten Malang ini sedang luar biasa naiknya. Menjadi penghasil jeruk terbesar di Jawa Timur. Tadinya kan Banyuwangi, sekarang Kabupaten Malang," ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang, Avicenna Medisica, Senin (6/10/2025).
Avicenna mengatakan, peningkatan produksi jeruk di wilayahnya tidak lepas dari kondisi geografis dan cuaca yang mendukung. Disebutkannya, tanah di Kabupaten Malang tergolong subur dengan curah hujan yang relatif stabil, sehingga cocok untuk budidaya tanaman jeruk.
Lebih lanjut, Avicenna menuturkan, dari sisi ekonomi, budidaya jeruk kini dianggap lebih menguntungkan dan stabil dibanding tanaman hortikultura lainnya. Menurutnya, di wilayah Kecamatan Poncokusumo, juga banyak petani apel yang telah beralih ke pertanian jeruk.
"Info yang kami dapat, komoditas yang paling stabil harganya, itu adalah jeruk untuk sekarang. Petani baru juga banyak yang menanam jeruk sekarang. Petani apel di Poncokusumo, banyak beralih ke jeruk. Petani holtikultura yang lain juga banyak yang menanam jeruk. Terutama di wilayah lahan-lahan kering itu," ungkapnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Malang, produksi jeruk di wilayah tersebut menunjukkan peningkatan sepanjang 2024.
Tercatat, total produksi jeruk mencapai 3.768.134 kwintal yang tersebar di 30 kecamatan. Angka tersebut naik dibandingkan tahun sebelumnya, di mana produksi jeruk pada 2023 berada di kisaran 3.531.485 kwintal.
Sementara itu, tren berbanding terbalik terjadi pada produksi apel. Jika pada 2023 total produksi apel mencapai 953.569 kwintal. BPS mencatat, pada tahun 2024 jumlah produksi pertanian apel menurun menjadi 875.023 kwintal.
Di sisi lain, perubahan arah pertanian ini juga telah dirasakan langsung oleh para petani. Salah satunya Suyono, petani jeruk di Dusun Lo’andeng, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau. Ia mengaku mulai menanam jeruk sejak 2017 setelah sebelumnya menanam tebu.
"Tetapi karena penghasilan tebu 1 tahun sekali makanya ganti ke jeruk. Apalagi tanahnya cocok untuk bertanam buah jeruk dan penghasilannya (uangnya) juga lebih banyak jeruk," kata Suyono.
Ditambahkannya, panen dilakukan setiap delapan bulan sekali dan hasil produksinya terus meningkat. Namun, ia menyebut tantangan utama dalam budidaya jeruk adalah kondisi kemarau panjang dan serangan hama lalat buah.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, menurutnya petani harus rutin menyiram dan melakukan pengendalian hama secara teratur. "Saya jualnya ke pengepul, langsung dibawa ke kelas supermarket," terangnya.
Sementara itu, Irfan Adiansyah, petani jeruk milenial dari Desa Selorejo, Kecamatan Dau, menyebut harga jeruk saat ini cenderung stabil, meski tidak setinggi beberapa tahun sebelumnya. Ia menilai cuaca yang tidak menentu menjadi tantangan utama dalam menjaga produktivitas tanaman.
Ia menjelaskan, masa panen biasanya berlangsung antara bulan Mei hingga September, tergantung kondisi lokasi perkebunan. Petani yang memiliki lahan dekat sungai bisa memanen lebih awal karena memiliki sumber air tambahan untuk pengairan.
"Dulu saya menanam sayur. Tetapi karena harga sayur selalu turun setiap tahunnya dan juga kebutuhan air untuk pengairan yang kurang, membuat saya beralih menanam jeruk," kata Irfan.
Reporter: Santi Wahyu/Editor: Ais