10 October 2025

Get In Touch

Wacana Bahasa Isyarat Masuk Kurikulum, Dosen Unair: Langkah Awal Menuju Pendidikan Inklusif

Akademisi Universitas Airlangga (Unair) sekaligus Ketua Koordinator Airlangga Inclusive Learning (AIL), Dr Fitri Mutia AKS MSi
Akademisi Universitas Airlangga (Unair) sekaligus Ketua Koordinator Airlangga Inclusive Learning (AIL), Dr Fitri Mutia AKS MSi

SURABAYA (Lentera) – Wacana pemerintah untuk memasukkan bahasa isyarat ke dalam kurikulum pendidikan nasional mendapat sambutan positif, dari kalangan akademisi. 

Dosen Universitas Airlangga (Unair) sekaligus Ketua Koordinator Airlangga Inclusive Learning (AIL), Dr Fitri Mutia AKS, M.Si menilai kebijakan ini bisa menjadi langkah awal, menuju sistem pendidikan yang benar-benar inklusif di Indonesia.

Menurutnya, wacana tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Aturan itu menegaskan pentingnya penyediaan sarana, prasarana, serta sumber daya manusia untuk mendukung pendidikan bagi penyandang disabilitas.

“Salah satu hal yang perlu disiapkan adalah dukungan anggaran, fasilitas, serta tenaga pendidik yang memahami kebutuhan teman-teman tuli. Di sana juga disebutkan penyediaan kurikulum inklusif, jadi sudah seharusnya kita memfasilitasi hal itu,” kata Mutia, Kamis (9/10/2025).

Mutia menegaskan, regulasi saja tidak cukup tanpa perubahan cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas tuli. Menurutnya, masih banyak yang beranggapan bahwa penyandang tuli yang harus menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan umum, bukan sebaliknya.

“Padahal kemampuan berbahasa isyarat bukan hanya tanggung jawab teman-teman tuli, tapi juga kita semua. Yang paling efisien memang bahasa isyarat. Membaca gerak bibir atau voice to text belum tentu akurat,” terangnya.

Ia juga menekankan, pentingnya keterlibatan komunitas tuli dalam proses penyusunan kebijakan dan pembelajaran bahasa isyarat.

“Belajar bahasa isyarat idealnya langsung dari penutur aslinya atau pihak yang sudah terverifikasi. Tidak adil jika membuat kebijakan tanpa melibatkan mereka,” tambahnya.

Lebih lanjut, Mutia menilai keberhasilan wacana ini bergantung pada kesiapan seluruh elemen pendidikan mulai dari guru, kurikulum, hingga penerimaan peserta didik penyandang disabilitas di sekolah umum.

“Pendidikan inklusif artinya bukan hanya di SLB atau lembaga khusus. Teman-teman tuli juga harus bisa belajar di lingkungan pendidikan yang terbuka dan setara. Semua unsur harus menyiapkan diri: aturan, sumber daya, dan penerimaan masyarakat,” jelasnya.

Meski masih dalam tahap wacana, Mutia optimistis gagasan ini akan terwujud jika ada komitmen bersama. Ia percaya, kehadiran bahasa isyarat dalam kurikulum akan menjadi cikal bakal lahirnya pendidikan yang lebih inklusif dan berempati terhadap keberagaman.

“Kalau kedua belah pihak saling memahami, kondisi inklusif bisa tercapai. Masyarakat pun akan semakin peka dan menghargai perbedaan,” tutup Mutia.

Reporter: Amanah/Editor: Ais

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.