
SURABAYA (Lentera) - Para ilmuwan kini mengonfirmasi keberadaan jenis baru diabetes yang dinamakan diabetes tipe 5, kondisi yang diperkirakan memengaruhi sekitar 20 hingga 25 juta orang di seluruh dunia.
Penyakit ini paling banyak ditemukan di Asia dan Afrika, dan meskipun telah diidentifikasi lebih dari 70 tahun yang lalu, keberadaannya selama ini hampir tidak diperhatikan serta kurang mendapat sorotan dari dunia medis.
Selama ini, dunia medis mengenal tiga jenis utama diabetes: tipe 1 akibat gangguan autoimun pada sel pankreas, tipe 2 karena resistansi atau kekurangan insulin, dan diabetes gestasional yang muncul sementara saat kehamilan akibat perubahan hormon.
Namun, awal tahun 2025, para ilmuwan di India secara resmi menetapkan adanya kategori baru, yaitu diabetes tipe 5. Penomoran “5” dipilih karena istilah tipe 3 dan tipe 4 telah lebih dulu digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk diabetes lain yang lebih jarang ditemukan.
“Diabetes tipe 5 ditandai dengan rendahnya sekresi insulin yang menyebabkan kadar gula darah meningkat, mirip dengan bentuk diabetes lainnya,” ujar Dr. Rachel Reinert, ahli endokrin dan asisten profesor di University of Michigan, seperti dikutip Live Science. “Namun, diabetes tipe 5 tidak disebabkan oleh autoimunitas seperti pada tipe 1, dan juga tidak melibatkan resistansi insulin seperti tipe 2,” tambahnya.
Penderita diabetes tipe 5 umumnya memiliki tubuh kurus dan pernah mengalami kekurangan gizi sejak kecil. Para dokter menilai bahwa kekurangan nutrisi kronis pada masa pertumbuhan dapat merusak pankreas, membuat sel penghasil insulin menjadi lemah secara permanen. Akibatnya, tubuh tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah memadai, meski masih dapat merespons terapi insulin jika diberikan.
Oleh karena itu, penanganan diabetes tipe 5 perlu dilakukan dengan sangat cermat. Pemberian insulin tanpa diimbangi asupan makanan yang cukup—kondisi yang sering terjadi di negara dengan pendapatan rendah—dapat memicu hipoglikemia, yaitu penurunan kadar gula darah hingga ke tingkat yang berbahaya.
“Penting bagi setiap pasien diabetes untuk mengetahui tipe diabetes yang mereka miliki agar dapat menerima perawatan yang tepat,” kata Reinert.
Penelitian mengenai diabetes tipe 5 kembali menarik perhatian setelah munculnya studi YODA (Young-Onset Diabetes in sub-Saharan Africa) yang dipublikasikan di The Lancet Diabetes & Endocrinology awal tahun ini.
Awalnya, penelitian tersebut berfokus pada diabetes tipe 1 dengan melibatkan hampir 900 orang dewasa muda di Kamerun, Uganda, dan Afrika Selatan. Namun, hasil yang diperoleh cukup mengejutkan—sekitar dua pertiga peserta ternyata tidak memiliki penanda autoimun yang umumnya ditemukan pada penderita diabetes tipe 1.
Tes lanjutan menunjukkan bahwa tubuh para peserta masih memproduksi insulin dalam jumlah terbatas, meskipun lebih sedikit dibandingkan penderita diabetes tipe 2. Temuan ini menegaskan adanya bentuk diabetes yang berbeda—bukan autoimun, tetapi disertai kekurangan insulin—yang kemudian dikenal sebagai diabetes tipe 5.
Menariknya, kondisi diabetes tipe 5 sebenarnya telah dikenali sejak 1950-an oleh dokter Inggris Philip Hugh-Jones, yang menamainya “type J” setelah menemukan kasus serupa di Jamaika. Namun, istilah itu sempat terlupakan. Menurut Reinert, penamaan yang tepat penting agar dokter dapat menentukan pengobatan dan peneliti memahami penyakit dengan lebih baik. Meski telah lama ada, minimnya riset membuat diabetes tipe 5 baru kini diakui secara resmi agar tidak lagi diabaikan.
“Penyakit ini membutuhkan lebih banyak riset dan pendanaan untuk mempelajari penyebab, mekanisme, dan penanganannya,” ujar Dr. Chittaranjan Yajnik, Direktur Unit Diabetes di KEM Hospital, Pune, India, sekaligus salah satu penulis consensus statement internasional tentang diabetes tipe 5 yang diterbitkan di The Lancet Global Health.
“Nama itu penting agar menarik perhatian para pemangku kepentingan dan lembaga pendanaan,” papar Yajnik. “Kalau tidak, penyakit ini akan kembali terkubur di antara keramaian berbagai jenis diabetes yang lebih umum.”
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber