
SURABAYA (Lentera) - Pada Mei 2025, China memulai pembangunan konstelasi satelit baru yang dirancang sebagai superkomputer berbasis kecerdasan buatan (AI) pertama yang beroperasi di luar angkasa.
Proyek ambisius ini diberi nama Three-Body Computing Constellation, dengan satelit pertamanya yang telah diluncurkan pada Juni lalu. Rangkaian satelit tersebut dirancang untuk menguji kemampuan pemrosesan data langsung di orbit, tanpa harus mengirimkan kembali data ke Bumi. Langkah ini menjadi tahap awal menuju terbentuknya jaringan pusat data di luar angkasa, yang bahkan berpotensi meluas hingga ke orbit Bulan.
Sekilas, ide membangun pusat data di luar Bumi terdengar seperti sesuatu dari dunia fiksi ilmiah. Namun, China memiliki alasan kuat untuk mengambil langkah visioner ini, termasuk upaya mempercepat kemandirian teknologi, meningkatkan keamanan data, serta mengurangi ketergantungan pada infrastruktur berbasis darat. Meski begitu, proyek ini tetap menghadapi tantangan besar, mulai dari aspek teknis hingga keberlanjutan energi di lingkungan luar angkasa yang ekstrem.
Uji coba awal proyek ini diperkirakan akan menjadi faktor penentu dalam melihat bagaimana sistem komputasi luar angkasa dapat berkembang di masa depan. Jika berhasil, proyek tersebut berpotensi mengubah cara manusia mengoperasikan dan memanfaatkan large language models (LLM), dengan pemrosesan data yang lebih cepat dan efisien tanpa harus sepenuhnya bergantung pada infrastruktur di Bumi. Langkah ini juga dapat membuka jalan bagi era baru teknologi kecerdasan buatan berbasis orbit.
Menurut insinyur sistem pesawat luar angkasa, Russell Hills, pusat data yang digunakan untuk menjalankan sistem AI memerlukan energi dan air dalam jumlah besar, terutama untuk menjaga suhu server tetap stabil melalui proses pendinginan. Kebutuhan besar akan sumber daya tersebut menjadi tantangan utama dalam mempertahankan efisiensi dan keberlanjutan sistem AI di Bumi.
Kondisi itu mendorong para ilmuwan dan insinyur untuk mencari solusi baru, termasuk dengan memindahkan sebagian aktivitas komputasi ke luar angkasa. Langkah ini dinilai inovatif sekaligus lebih ramah lingkungan karena dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam di Bumi. Selain itu, energi matahari yang melimpah di luar angkasa berpotensi dimanfaatkan untuk mendukung operasional pusat data tanpa menimbulkan emisi karbon yang tinggi.
“Konsumsi energi pusat data di seluruh dunia meningkat tajam seiring berkembangnya sistem AI. Ini menjadi perhatian besar terhadap kapasitas pembangkit listrik dan emisi karbon,” kata Russell dikutip dari laman IFLSciene pada Jumat (10/10/2025).
Pemerintah China sebelumnya menjelaskan satelit-satelit dalam proyek ini akan memanfaatkan vakum dingin di luar angkasa sebagai sistem pendingin alami, sementara superkomputer orbit tersebut akan memproses data dengan kapasitas gabungan mencapai 1.000 peta operasi per detik yang setara dengan satu kuintiliun operasi setiap detiknya.
Beberapa perusahaan lain juga mulai mengembangkan konsep serupa, yaitu pemrosesan data di luar angkasa dengan tenaga surya. Dengan begitu, panas buangan dapat langsung dilepaskan ke luar angkasa tanpa menambah emisi karbon di Bumi.
Meski demikian, proyek China kali ini bukan ditujukan untuk menguji teknologi pembangkit energi surya di luar angkasa. Fokus utamanya adalah mengetes kemampuan pemrosesan data langsung di orbit.
“China tidak sekadar menempatkan pusat data di luar angkasa karena lokasinya lebih baik dari Bumi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pengolahan data berbasis AI di lingkungan antariksa itu sendiri,” kata Russell.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber