MADIUN (Lentera) – Keresahan pedagang pasar tradisional di Kota Madiun kian memuncak, setelah Pemkot setempat menempelkan surat peringatan di kios-kios hingga merasa terus ditekan dengan kewajiban membayar retribusi dan ancaman penyegelan. Bahkan, mereka mengaku ditakut-takuti dengan ancaman pasal korupsi.
“Bukannya diajak duduk bersama untuk mencari solusi, malah ada sosialisasi yang menyebut pedagang bisa kena pasal korupsi. Yang dilakukan itu (ancaman pasal korupsi) hal yang bodoh menurut saya," tegas perwakilan paguyuban pedagang pasar, Mohammad Ibrahim,saat audiensi di kantor DPD Partai NasDem Kota Madiun, Jumat (24/10/2025).
Ibrahim menilai, pendekatan yang dilakukan Pemkot Madiun terhadap persoalan di pasar tradisional justru kontraproduktif. Dalam kondisi pasar sepi, kata dia, pemerintah seharusnya memberi ruang dialog, bukan tekanan.
“Pedagang tidak menggunakan uang negara. Jadi ancaman pasal korupsi itu menakut-nakuti,” ujarnya.
Kedatangan para pedagang ke Partai NasDem merupakan langkah lanjutan setelah sebelumnya mereka mengadu ke DPRD Kota Madiun. Namun, rekomendasi dewan agar Pemkot membuka ruang komunikasi tak kunjung direspons. Akibatnya, 356 kios ditutup, sebagian besar karena tunggakan retribusi.
“Masalahnya sebenarnya sederhana, tapi kenapa dibuat rumit. Kami hanya ingin ada pertemuan untuk mencari jalan tengah,” kata Ibrahim.
Perwakilan yang hadir berasal dari Paguyuban Pedagang Pasar Srijaya, Pasar Sleko, dan Pasar Besar Madiun (PBM). Tak hanya pedagang pasar tradisional, perwakilan penyewa kios di kawasan Jalan Bogowonto juga ikut dalam audiensi. Mereka mengeluhkan lonjakan retribusi hingga 940 persen, yang membuat banyak kios gulung tikar.
“Retribusi naik hampir seribu persen, sementara jualan sepi. Kami tidak kuat lagi bayar,” keluh Eka Hartono, perwakilan penyewa kios.
Menurut Eka, sepinya pembeli salah satunya dipicu kebijakan penempatan gerbong kereta api di depan deretan kios yang dialihfungsikan menjadi area kuliner. Akses jalan menuju kios pun tertutup.
“Kami sudah 60 tahun berjualan di sana, ikut membangun kios dari awal. Kalau mau diubah jadi area kuliner mestinya ada kajian dan kami diajak bicara, bukan diputuskan sepihak,” katanya.
Berbagai upaya sudah ditempuh para penyewa, mulai dari mendatangi dinas terkait hingga mengadu ke DPRD. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut konkret.
“Tidak ada solusi. Kami ke Partai NasDem karena sudah buntu. Kami hanya ingin tetap bisa hidup,” tegas Eka.
Menanggapi keluhan itu, Ketua DPD Partai NasDem Kota Madiun, Amanto menyatakan partainya siap menjadi jembatan komunikasi antara pedagang dan Pemkot.
“NasDem terbuka menerima aspirasi masyarakat, termasuk pedagang pasar. Anggota fraksi akan kami panggil dan diajak menyelesaikan masalah ini,” ujar Amanto usai audiensi.
Ia juga berencana mengajak ketua-ketua partai politik lain untuk berkoordinasi dengan Wali Kota Madiun, agar konflik pedagang pasar tidak berlarut dan menimbulkan kegaduhan.
“Masalahnya tidak bisa selesai di tingkat fraksi. Karena itu partai harus turun langsung,” jelasnya.
Dalam audiensi tersebut, tampak hadir Ketua dan Sekretaris DPD NasDem Kota Madiun. Namun tak terlihat anggota fraksi, meski sempat beredar surat undangan atas nama Fraksi Gerindra–NasDem.
Reporter: Wiwiet Eko Prasetyo/Editor: Ais





