OPINI (Lentera) -Berdasarkan laporan IMF World Economic Outlook 2024, Indonesia kini berada di peringkat ke-8 ekonomi terbesar dunia berdasarkan PDB Paritas Daya Beli (PPP), dengan nilai sekitar USD 4,98 triliun.
Dua tahun sebelumnya, pada 2023 Indonesia berada di peringkat 10. Ini merupakan lonjakan prestasi yang signifikan. Seperti matahari yang perlahan menembus kabut pagi, kekuatan Indonesia kini memancar di panggung global. Dunia pun menoleh.
Ketika Presiden Prabowo Subianto mengambil alih kendali, pondasi ekonomi itu tidak dibiarkan membekas di atas kertas. Ia menggubahnya menjadi gerak nyata: memperkuat pangan, menarik investasi, dan mengembalikan kepercayaan dunia.
Pada enam bulan pertama pemerintahannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12 persen (yoy). Data BPS, menempatkan Indonesia di posisi ketiga, setelah India sebesar 5,8 persen dan China 5,3 persen. Bagai alunan simfoni yang tenang namun membahana, setiap kebijakan tersusun dengan ritme yang pasti.
Di tengah laju itu, hadir sosok Purbaya Yudhi Sadewa — arsitek baru keuangan di Kementerian Keuangan. Ia bukan pemburu sorotan, tetapi pengendali arah fiskal yang presisi.
Di tangannya, kebijakan keuangan negara dijaga tetap disiplin, efisien, dan produktif. Defisit terkendali, belanja diarahkan ke sektor yang menumbuhkan lapangan kerja dan memperkuat ketahanan rakyat. Seperti arsitek yang menata fondasi megah, Purbaya menyiapkan panggung agar Indonesia berdiri tegak dan anggun.
Hasilnya mulai terasa. Investasi asing mencapai USD 87,6 miliar per September 2025, naik 13,7 persen dibanding tahun sebelumnya.
Sektor pariwisata mencatat lonjakan 14,85 juta wisatawan mancanegara (naik 12,32 persen). Stok beras nasional mencapai 4.001.059 ton — rekor tertinggi dalam sejarah modern Indonesia, sekaligus rekor kedua dan ketiga di tingkat regional. Negeri ini menari di atas angka, namun tetap berpijak pada realitas, rakyat harus merasakan hasil kerja nyata.
Magnet kepemimpinan Prabowo tidak hanya menarik investasi, tetapi juga menangkap yang licik dan mengembalikan keadilan.
Di bawah arahannya, pemerintah menindak tegas enam smelter timah ilegal di Bangka Belitung, yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Selain itu, pemerintah berhasil memulihkan Rp 13,25 triliun dari praktik ekspor CPO bermasalah.
Dalam senyap tapi pasti, Prabowo menegakkan prinsip bahwa kekayaan bangsa bukan untuk diperas segelintir tangan, melainkan untuk dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Bagai sinar fajar yang menyingkap gelap, ia menyingkap praktik yang merugikan bangsa.
Dari luar negeri, sinyal positif terus berdatangan. Stabilitas fiskal Indonesia mendapat pujian, dan proyeksi pertumbuhan tetap solid di kisaran 4,6–5,4 persen hingga akhir tahun.
Di dalam negeri, tingkat kepuasan publik 79,3 persen menjadi bukti bahwa rakyat merasakan hasil kerja nyata. Seperti gema dari pegunungan, pujian ini menguatkan keyakinan bahwa arah bangsa benar.
Para analis menyebut duet Prabowo–Purbaya sebagai superheterodin ekonomi, frekuensi kepemimpinan yang berpadu dengan presisi fiskal, menghasilkan sinyal kuat pertumbuhan yang stabil dan berdaya tahan. Setiap nada kebijakan saling menguatkan, menjadi simfoni yang menyuarakan kedaulatan dan kemajuan.
Di balik irama besar itu, tangan-tangan tenang seperti Purbaya menjaga nada tetap jernih. Sebuah orkestra kepemimpinan yang tak mencari tepuk tangan, tapi memastikan lagu besar bangsa ini terus bergema — gagah, berdaulat, dan dihormati dunia (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH





