OPINI {Lentera) -Selamat pagi Indonesia!
Indonesia membakar masa depan dengan batu bara. Produksi tahun 2024 mencapai 831 juta ton, PLTU menyuplai 53 persen listrik nasional, sementara subsidi energi fosil membengkak hingga Rp 327 triliun, dua puluh kali lipat dukungan untuk energi bersih.
Ketergantungan ini bukan sekadar angka. Ini soal kesehatan publik, polusi udara, dan degradasi lingkungan yang terus meningkat. Setiap ton karbon yang dilepas ke udara adalah hutang ekologis bagi generasi mendatang.
Emisi karbon Indonesia dari sektor energi mencapai 1,8 miliar ton CO₂ setara per tahun. Dampaknya terasa nyata: kualitas udara menurun, penyakit pernapasan meningkat, dan biaya kesehatan membengkak. Anak-anak yang lahir hari ini akan mewarisi udara yang lebih berat dari generasi sebelumnya.
Potensi energi bersih Indonesia melimpah, namun pemanfaatannya masih minim. Kapasitas terbarukan nasional saat ini 14,1 gigawatt, terdiri dari panas bumi 6,3 gigawatt, energi air 5,5 gigawatt, surya 0,47 gigawatt, serta bayu dan biomassa.
Untuk mencapai target 23 persen bauran energi, dibutuhkan tambahan 8–10 gigawatt energi baru. Angka ini realistis jika ada keberanian politik, regulasi tegas, dan investasi konsisten.
Harga panel surya global turun 85 persen dalam satu dekade, biaya pembangunan PLTS domestik menurun tajam, dan efisiensi penyimpanan energi meningkat. Energi bersih kini lebih kompetitif dari sebelumnya, bahkan dibanding bahan bakar fosil yang merugikan.
Namun realisasi investasi masih jauh dari kebutuhan. Tahun 2024, investasi energi bersih hanya USD 1,6 miliar, dibanding kebutuhan tahunan USD 20–25 miliar. Tanpa percepatan, target transisi energi akan tertunda puluhan tahun.
Bank Dunia memperkirakan kerugian ekonomi akibat polusi udara di Indonesia mencapai 0,5–1 persen PDB per tahun, sementara biaya kesehatan masyarakat terus meningkat. Kerugian ini nyata, bukan sekadar angka, dan menuntut perhatian serius pemerintah serta publik.
Kehilangan ekonomi akibat energi fosil juga membuat produk lokal kalah bersaing. Indonesia terus mengimpor energi yang sebenarnya bisa diproduksi dari sumber bersih, melewatkan peluang pertumbuhan hijau.
RUPTL Hijau 2025–2034 menargetkan 35 persen energi terbarukan pada 2034, dan dana Just Energy Transition Partnership sebesar USD 20 miliar siap mendukung pensiun dini PLTU serta proyek energi hijau.
Namun target ini akan sia-sia tanpa keberanian politik, regulasi tegas, dan insentif nyata bagi industri serta masyarakat.
Infrastruktur lama, resistensi industri fosil, dan rendahnya kesadaran publik menjadi penghalang utama percepatan transisi energi.
Di kota besar, polusi udara meningkat, biaya kesehatan meroket, dan generasi muda menyadari bahwa masa depan mereka sedang dibakar—bukan oleh matahari, tapi oleh cerobong PLTU dan mesin fosil.
Solusi jelas tapi menuntut keberanian: hentikan subsidi fosil, percepat modernisasi grid PLN, dorong insentif energi bersih, dan perkuat investasi swasta.
Penambahan 8–10 gigawatt energi bersih dalam 2–3 tahun bukan mimpi jika ada tekad nyata dan langkah konkret.
Transisi energi adalah ujian keberanian bangsa. Ini bukan sekadar mengganti mesin, tapi menata ulang ekonomi, budaya, dan cara hidup bangsa.
"Energi bukan sekadar bahan bakar. Ia adalah harapan yang menunggu untuk dinyalakan."
Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, Indonesia akan tetap menjadi bangsa yang membakar masa depan demi keuntungan sesaat, kehilangan peluang global, dan kalah dalam perlombaan energi bersih. Sudah waktunya bumi Indonesia disinari oleh keberanian, bukan bara (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifn BH





