Tembus Sekat Perbedaan: Cerita Warga Tionghoa di Malang Dampingi Santri Menyelami Bahasa Mandarin
MALANG (Lentera) - Di tengah perbedaan budaya dan keyakinan, komunitas keturunan Tionghoa, Hakka Malang, membuka jendela baru bagi 3 santri untuk menembus sekat perbedaan melalui aksara dan bahasa. Rachmad Herlambang, Kepala Sekretariat Hakka Malang, menjadi penghubung dua dunia yang jarang bersinggungan, yakni pesantren dan komunitas Tionghoa.
Pertemuannya dengan tiga santri asal Pondok Pesantren di Poncokusumo, itu bermula dari kerja sama antara organisasi Hakka Malang dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI). Dari perantara seorang dosen di organisasi tersebut, mereka datang untuk belajar bahasa Mandarin secara langsung. Dibimbing dan didampingi Herlambang serta timnya di klub komunikasi bahasa Mandarin yang dikelola Hakka.
"Awalnya saya tanya ke mereka, ‘Kalian mau belajar bahasa Mandarin, motivasinya apa?’ Ternyata jawabnya, mereka ingin ke negeri Cina. Saya sempat bingung juga, karena masih anak-anak," ujar Herlambang, ditemui di Sekretariat Hakka Malang, Selasa (4/11/2025).
Menurut Herlambang, minat para santri itu tidak lepas dari pesatnya kemajuan negeri Tirai Bambu yang kini menjadi salah satu pusat peradaban dunia modern. Ia menyebut, pandangan tersebut bahkan sejalan dengan salah satu frasa populer dalam ajaran Islam yang berbunyi "Tuntutlah ilmu, walau sampai ke negeri Cina."
"Sekarang buktinya nyata, peradaban di sana sangat tinggi dan maju. Saya pikir wajar kalau ada yang ingin belajar lebih dalam tentang bahasa dan budayanya," katanya.
Herlambang menjelaskan, tiga santri tersebut mendapat dukungan penuh dari Prof. Wahyudi Winarjo, akademisi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sekaligus Ketua PC INTI Kota Malang. Melalui komunikasi dengan pengasuh pondok pesantren, anak-anak tersebut akhirnya mendapat kesempatan belajar langsung di Hakka Malang.
"Kalau mereka butuh apa-apa, bisa bilang ke saya. Bahkan kalau nanti ingin melanjutkan sampai ke Tiongkok, saya bisa bantu menjembatani lewat Pusat Bahasa Mandarin di UM," imbuhnya.
Meski baru belajar sekitar satu bulan, semangat ketiga santri itu membuat Herlambang kagum. Setiap kali datang, mereka selalu mengenakan sarung dan kopiah. Situasi yang bagi sebagian orang di Hakka Malang mungkin terasa canggung, justru menjadi momen pembauran yang berharga.
"Logat mereka masih sangat Jawa. Tapi kami berusaha membaur supaya mereka nyaman belajar. Yang diajarkan sekarang baru dasar percakapan, biar mereka tidak takut berbicara," kata Herlambang.
Dalam mendampingi para santri, Herlambang juga menekankan pentingnya praktik ketimbang teori. Ia bahkan turut membantu menerjemahkan beberapa bagian agar proses belajar tidak kaku dan bisa lebih komunikatif.
"Saya selalu pesan ke pengajar, jangan hanya teori. Lebih baik praktik langsung. Karena kalau pelafalan bahasa Mandarin salah, artinya bisa lain," jelasnya.
Selama proses belajar, tak jarang muncul kejadian lucu yang mencairkan suasana. Salah satunya ketika para santri mencoba mengucapkan kata untuk memuji perempuan cantik. "Lidah mereka terseok-seok. Jadi saya bantu eja pakai bahasa Indonesia: B-I-A-O-L-I-N-G. Itu disebut Bin Yin atau spelling. Kami belajar sambil tertawa," kenangnya sambil tersenyum.
Semangat ketiga santri itu menjadi hal yang paling berkesan bagi Herlambang. Ia menilai, kemauan belajar lintas budaya seperti inilah yang menjadi jembatan untuk saling memahami di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.
"Saya kasih jempol untuk mereka. Semangatnya luar biasa. Saya harap ilmu yang mereka dapat bisa bermanfaat, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk banyak orang," pungkasnya.
Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH





